Senin, 05 Desember 2011

NEGARA TANPA POLISI


Oleh Hadrian Setiawarga
(Pulampas91@gmail.com / hadriansetiawarga@yahoo.com)

Negara adalah sebuah wujud nyata dari sebuah komitmen dari masyarakat untuk eksis sebagai sebuah wujud kesatuan, rakyat dengan wilayahnya dan pemerintahan di depan rakyatnya, dan wilayah lain serta negara lain. Eksistensi sebuah negara terbangun dari kebersamaan rakyat dan pemerintah, dalam menjaga dan mewujudkan kehidupan masyarakat negaranya yang adil, makmur dan sejahtera. Tanpa kebersamaan tersebut maka sebagai wujud negara bisa dikatakan sudah tidak bernegara. Hal ini bisa berarti bahwa terjadi perpecahan di dalam wujud negara, bisa dari pegawai pemerintah, pegawai oknum pemerintah, rakyat ataupun negara lain dalam satu wujud negara atau dari bagian wujud negara.
Perubahan sebuah negara selain disebabkan oleh hilang dan atau bertambahnya wilayah juga bisa disebabkan oleh kekecewaan dari rakyat. Dan hal ini berbeda dengan kekecewaan pemerintah. Kekecewaan pemerintah lebih pada sebuah kebijakan sebagai wakil dari seluruh rakyat dalam sebuah negara, jadi perkataan pemerintah adalah perkataan rakyatnya. Namun disaat perkataan pemerintah sudah tidak sebagai perkataan rakyat maka yang kecewa bukan pemerintah melainkan rakyat. Dan sebaliknya disaat itu pemerintah juga merasakan kecewa karena rakyatnya tidak mau mengakuinya sebagai wakil rakyat atau penyalur lidah rakyat (mengambil istilah di orla). Salah satu cara pemerintah agar tetap menjadi penyalur lidah rakyat adalah menggunakan pegawai pemerintah berupa polisi (terkusus polisi anti huru hara) untuk meredam aksi dan kekecewaan rakyat. Rakyat yang kecewa dan marah di balas dengan kemarahan pegawai pemerintah yang digunakan oleh pemerintah dengan kemarahan pula. Dan korban berjatuhan baik dipihak rakyat maupun dipihak pegawai. Perpecahan negara seperti ini disebut dengan konflik internal negara, yang bisa terjadi antara rakyat dengan rakyat atau rakyat dengan pemerintah. Namun sebagai sebuah negara masih utuh yaitu ada kesatuan wilayah, rakyat, dan pemerintah dan tidak bisa dibilang negara terpecah. Negara akan menjadi terpecah disaat kekecewaan itu kemudian menjadi pemberontakan, artinya rakyat yang kecewa melakukan aksi kekecewaannya itu dengan tidak mengakui pemerintahan dan mendeklarasikan pemerintahan sendiri. Sehingga ada negara di dalam negara.
Dalam kehidupan bernegara di Indonesia, rakyat sebagai obyek pemerintahan dan pegawai pemerintah sebagai subyeknya. Dalam arti bahwa jalannya negara itu di kelola dan dijalankan oleh pegawai pemerintah dan sebagai penerima hasil kerja pegawai adalah rakyat. Ini adalah istilah yang langka, dalam arti bahwa bentuk kekecewaan rakyat bisa jadi berasal dari makna pemerintahan yang sudah berubah. Sehingga rakyat dijadikan subyek pelaku pemerintahan sedangkan pegawai pemerintah sebagai penikmat hasil kerja rakyat. Istilah yang terbalik ini bisa dilihat pada jaman pemerintahan Belanda di Indonesia dengan segala macam sistem yang mereka terapkan selama katanya 350 tahun, pemerintahan Jepang di Indonesia yang katanya berumur seumur jagung, 3 ½ tahun, dan jaman-jaman sesudahnya sampai saat ini yang katanya jaman setelah kemerdekaan RI menjadi NKRI atau Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pada hakikatnya arti sebuah negara adalah terbentuk karena memiliki wilayah, memiliki pemerintahan, dan memiliki rakyat yang bertekat untuk menjadi negara dan mendapatkan pengakuan dari negara lain dan dunia internasional. Pemerintahan dari sebuah negara merupakan pengemban amanah untuk menjalankan pemerintahan dari tingkat rendah sampai tingkat negara. Kekuasaan pemerintahan yang dimiliki digunakan semaksimal-maksimalnya untuk mensejahterakan rakyat. Pada zaman kolonial pemerintahan banyak menyengsarakan rakyat sehingga pemerintah membentuk badan polisi untuk mengendalikan rakyat yang bergejolak. Dan ternyata sampai saat ini polisi masih dipertahankan padahal dalam sejarah bangsa ini, rakyat adalah yang menjadi pemilik negara ini. Dan telah konsisten untuk menjadikan negara ini berdasarkan hukum bahkan untuk bisa didasarkan atas agama. Sehingga kesalahan dari semua anggota negara termasuk pemimpin bisa dihadapkan kepada institusi hukum atau didepan hukum agama. Dan hal ini terhalang oleh adanya polisi yang tidak memiliki hak untuk menjatuhkan hukuman dan penyelidikan, namun semua adalah dikembalikan kepada hukum di pengadilan berdasarkan saksi. Tanpa ada olah TKP, rekayasa, dan salah tangkap.
Dulu polisi banyak ditugaskan untuk menjaga obyek-obyek negara dan pemimpin negara, agar terhindar dari serangan kolonial dan pemberontak. Dan adanya polisi sekarang juga tidak lepas dari tugas itu. Dan rakyat dijadikan obyek sebagai yang dicurigai akan mengadakan pemberontakan dan pembangkangan kepada pemimpin-pemimpin negara. Sekarang polisi mengatakan sendiri repot jika menjaga pemimpin, padahal pemimpin sekarang tidak ingin dijaga karena ingin dekat dengan rakyat. Kenapa mempertahankan polisi?
Sungguh miris mengikuti kerja polisi yang tersiar dari TV, salah tangkap padahal yang ditangkap sudah dipaksa dan diinterogasi, diintimidasi apakah ini bukan pelanggaran HAM? Apakah atas nama tugas dari negara mereka terlepas dari hukum? Sebagai negara yang berdasarkan hukum semua warga negara tidak ada yang kebal hukum sekalipun Presiden. Tirulah zaman-zaman Ke nabian Muhammad saw, kekhalifahan, semua kembali kepada hukum. Di zaman Nabi Muhammad saw, beliau mengatakan seandainya Fatimah anakku mencuri maka aku akan potong tangannya. Di zaman Khalifah Ali, beliau rela menerima hasil keputusan Hakim yang memenangkan pencuri baju besinya karena saksi dari pihak Khalifah Ali tidak bisa diterima karena masih saudara dekat (anaknya sendiri). Mana pengadilan yang seperti ini di Indonesia yang diproklamasikan sejak 1945 ini? Dan mana pemimpin yang bisa seperti mereka?
Coba kita perhatikan PAPUA, Bumi yang kaya tapi miskin, negeri yang damai tapi mematikan. Bumi yang dihuni manusia-manusia tanpa teknologi perang canggih, tapi di sanalah polisi yang terlatih dan dilengkapi senjata menjadi bulan-bulanan pembunuhan.
Dalam satu bulan terakhir, setidaknya tiga polisi tewas dibunuh di Papua. Pembunuhan pertama terjadi 7 November terhadap AK Dominggus Awes, Kapolsek Mulia, Kabupaten Puncak Jaya. Dia ditembak mati oleh penyerang yang merampas senjatanya. Pembunuhan kedua terjadi 3 Desember di distrik yang sama. Dua anggota Brimob Bripda Feerly dan Bripda Eko tewas dihajar anak panah para penyerang dari perbukitan. Polisi sampai hari ini belum bisa menangkap para pelaku dua pembunuhan tersebut. Situasi Papua akhir-akhir ini memang dilematis. Dibilang aman, tidak! Dibilang perang, pun tidak! Situasi mendua beginilah yang membuat kepincangan persepsi.
Pemerintah meningkatkan jumlah personel polisi dan tentara ke Papua. Karena Papua dipersepsikan aman dan damai, pengerahan itu dikecam sebagai langkah represif. Pembunuhan terhadap dua anggota Brimob justru terjadi di tengah pengerahan pasukan ke Papua.
Trauma militerisme selama tiga dasawarsa era Orde Baru rupanya begitu mencekam sehingga publik kini belum juga rela berpihak kepada polisi yang selama Orde Baru adalah bagian dari tentara. Dengan demikian, kekerasan dan pembunuhan terhadap polisi dianggap wajar, sementara kekerasan terhadap warga dengan gampang dianggap pelanggaran HAM.
Organisasi-organisasi kemasyarakatan berteriak lantang ketika seseorang, entah di Papua atau di mana pun, meninggal di tangan polisi. Tetapi, ketika nyawa polisi berjatuhan di Papua, tidak ada suara yang membela. Seakan-akan pembunuhan polisi adalah wajar oleh siapa saja, di mana saja, dan dengan alasan apa saja. Dari perspektif fungsi keamanan yang diemban, polisi harus menjadi kepentingan publik karena fungsi keamanan yang dibebankan kepadanya adalah sebagian dari hak asasi manusia. Dengan demikian, membela polisi adalah juga menjadi kewajiban publik. Hak asasi adalah milik setiap warga negara, termasuk polisi.
Pemerintah harus menegaskan dengan konsekuen situasi di Papua. Jika Papua daerah damai, tidak ada alasan untuk tidak menegakkan hukum di sana. Kekerasan dilawan kekerasan hanya terjadi di wilayah perang. Terlepas dari citra dan perilaku polisi yang belum memuaskan kita semua, polisi sama seperti hakim harus dihormati. Publik harus membayangkan betapa mengerikan sebuah negara tanpa polisi. Karena itu, siapa pun yang membunuh polisi harus dihukum berat.
Menjadi polisi sulit dan mahal. Alangkah naifnya ketika kita membiarkan dan menganggap lumrah nyawa polisi menjadi bulan-bulanan di Papua. Bagi polisi perlu diingatkan, dalam situasi apa pun kesiagaan mutlak. Itulah tuntutan profesionalisme.

10 Negara tanpa Kekuatan Militer
Seperti dikatakan oleh negarawan terkenal George Perancis Clemenceau , “adalah Terlalu serius masalah Perang yang akan dipercayakan kepada militer , ” dan bahkan hari ini, pernyataannya masih berdiri benar. Sementara sebagian besar negara memiliki kekuatan militer yang besar yang mampu menyebarkan dan melindungi pada waktu tertentu ( yang terbesar dan paling terkemuka yang Cina , sekitar 1.600.000 personil militer ) , beberapa negara tidak memiliki militer sama sekali.
Di bawah ini adalah daftar sepuluh negara yang tidak mengatur kekuatan militer antara lain :
1.   Kepulauan Solomon
2.   Kosta Rika
3.   Samoa
4.   Palau
5.   Andorra
6.   Grenada
7.   Kepulauan Marshall
8.   Liechtenstein
9.   Nauru
10.        Kota Vatikan


di dapat dari berbagai Sumber

Minggu, 04 Desember 2011

DAFTAR POLDA DI INDONESIA



·         Jawa Barat
Kapolda : Irjen Pol. Drs. Putut Eko Bayuseno
Jl. Soekarno-Hatta No. 748 Bandung
·         Kepulauan Bangka Belitung
Kapolda : Brigjen Pol. Drs. M. Rum Murkal.
Jl. Komp. Perkantoran Air Itam - Pangkal
·         Kepulauan Riau - Batam
Kapolda : Brigjen Pol. Drs. R. Budi Winarso
Jl. Hang Jebat 81 Batu Besar, Nongsa Bat
·         Polda Bali
Kapolda : Irjen Pol. Drs. Totoy Herawan Indra
Jl. W.R Supratman No.7 Denpasar
·         Polda Banten
Kapolda : Brigjen Pol. Drs. Eko Hadi Sutedjo, SH, M.Si
Jl. Syeh Nawawi Al Bantani No. 76 Serang
·         Polda Bengkulu
Kapolda : Brigjen Pol. Drs. Burhanuddin Andi, MM
Jl. Adam malik Km 9, Bengkulu
·         Polda DIY
Kapolda : Brigjen Pol. Drs. Tjuk Basuki, M.Si
l. Tentara Pelajar 11, Yogyakarta.
·         Polda Gorontalo
Kapolda : Brigjen Pol. Drs. Irawan Dahlan
Jl. Limboto Raya No. 17 Gorontalo
·         Polda Jambi
Kapolda : Brigjen Pol. Drs. Anang Iskandar, SH, MH
Jl. Jend. Sudirman No. 45 Jambi
·         Polda Jawa Tengah
Kapolda : Irjen Pol. Drs. Didiek Sutomo Tri Widodo
Jl. Pahlawan No. 1 Semarang
·         Polda Jawa Timur
Kapolda : Irjen Pol. Drs. Hadiatmoko
Jl. Jend A. Yani, Surabaya.
·         Polda Kalimantan Barat
Kapolda : Brigjen Pol. Drs. Unggung Cahyono
Jl. Laksamada Adi Sucipto Pontianak
·         Polda Kalimantan Selatan
Kapolda : Brigjen Pol. Drs. Syafruddin, M.Si
Jl. S. Parman No. 16 Banjarmasin
·         Polda Kalimantan Tengah
Kapolda : Drs. H. Damianus Jackie
Jl. Tjilik Riwut Km. I Palangk
·         Polda Kalimantan Timur
Kapolda : Irjen Pol. Drs. Bambang Widaryatmo
JL. Syarifuddin Yoes 99, Balikpapan
·         Polda Lampung
Kapolda : Brigjen Pol. Drs. Jodie Rooseto
Jl. WR Supratman No. 01 Bandar lampung
·         Polda Maluku
Kapolda : Brigjen Pol. Drs. Syarief Gunawan
Jl. Rijali No. 1 , Ambon 97123
·         Polda Maluku Utara
Kapolda : Brigjen Pol. Drs. Erlan Lukman Nulhakim, MM
Jl. Kapitan Pattimura No. 9 Kalumpang Te
·         Polda Metro Jaya
Kapolda : Irjen Pol. Drs. Untung S. Radjab, SH
Jl. Sudirman 55 Jaksel
·         Polda Nangroe Aceh Darussalam
Kapolda : Irjen Pol. Drs. Iskandar Hasan, SH, MH
Jl. Cut Nyak Din, Banda Aceh.
·         Polda NTT
Kapolda : Brigjen Pol. Drs.Yorry Yance Worang
jl soeharto no.3 Kupang
·         Polda Nusa Tenggara Barat
Kapolda : Brigjen Pol. Drs. Arif Wachjunadi
Jl.Langko No.77 Mataram
·         Polda Riau
Kapolda : Brigjen Pol. Drs. Suedi Husein, SH
Jl. Jend. Sudirman no. 235 Pekanbaru-Ria
·         Polda Sulawesi Selatan
Kapolda : Irjen Pol. Drs. Johny Wainal Usman, MM
Jln. Perintis Kemerdekaan KM 16 Makasa
·         Polda Sulawesi Tengah
Kapolda : Brigjen Pol. Drs. Dewa Made Parsana
Jl. Dr. Samratulangi no. 78 Palu
·         Polda Sulawesi Tenggara
Kapolda : Brigjen Pol. Drs. Sigit Sudarmanto, SH, MM
Jl. Haluoleo no. 1 Poasia Kendari
·         Polda Sulawesi Utara
Kapolda : Brigjen Pol. Drs. Carlo Brix Tewu
Jl. Bethesda No.62, Manado, Sulawesi Uta
·         Polda Sumatera Barat
Kapolda : Brigjen Pol. Drs. Wahyu Indra Pramugari, SH, MH
Jl. Sudirman no. 55 Padang.
·         Polda Sumatera Selatan
Kapolda : Irjen Pol. Drs. Dikdik Mulyana Arif M. SH, MBA
Jl. Jenderal Sudirman KM. 4,5 Palembang
·         Polda Sumatera Utara
Kapolda : Irjen Pol. Drs. Wisjnu Amat Sastro,SH
Jl SM Raja XII Km 10,5 No 60 Medan

Peradilan Anak di Indonesia


oleh Hadrian

Komitmen negara terhadap perlindungan anak, sesungguhnya telah ada sejak berdirinya negara ini. Hal itu bisa dilihat di dalam konstitusi dasar kita, pada Pembukaan UUD 1945 disebutkan bahwa tujuan didirikannya negara ini antara lain untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Secara implisit, kata kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa didominasi oleh konotasi anak karena mencerdaskan kehidupan bangsa khususnya, dilakukan melalui proses pendidikan, di mana ruang-ruang belajar pada umumnya berisi anak-anak dari segala usia. Anak secara eksplisit disebutkan dalam pasal 34 pada bagian batang tubuh yang berbunyi; ”Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara”.
Pengadilan Anak adalah pelaksana kekuasaan kehakiman yang berada di lingkungan peradilan umum. Sidang Pengadilan Anak yang selanjutnya disebut Sidang Anak, bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara anak sebagaimana ditentukan dalam undang-undang (UU No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak).
Anak adalah suatu potensi tumbuh kembang suatu Bangsa di masa depan, yang memiliki sifat dan ciri khusus. Kekhususan ini terletak pada sikap dan perilakunya di dalam memahami dunia, yang mesti dihadapinya. Oleh karenanya Anak patut diberi perlindungan secara khusus oleh negara dengan Undang-Undang. Perkembangan zaman, dan kebutuhan akan perlindungan anak yang semakin besar mendesak kita untuk memikirkan secara lebih, akan hak-hak anak karena di bahu mereka lah, masa depan dunia tersandang.
Saya berpendapat bahwa hanya orang yang ingin Indonesia hancur yang memenjarakan anak-anak dengan kesalahan kecil, apabila sistem peradilan di Indonesia tidak memihak kepada anak, tentu efeknya jangka panjangnya akan buruk. Indonesia sangat mungkin kalah bersaing dengan negara-negara lain di dunia, karena sebagian besar generasinya telah mendapati trauma masa kecil yang sulit membuat mereka berkembang akibat menerima ketidakadilan.
Jika sistem peradilan dan perlindungan anak masih seperti ini tanpa perubahan, maka masa depan negara akan hancur, penjara bukanlah rumah bagi anak-anak Indonesia. Kondisi kesehatan anak-anak di penjara tidak diperhatikan, banyak anak kekurangan gizi, kesulitan memperoleh air bersih, dan tekanan mental.
Di Indonesia terdapat lebih dari 7.000 narapidana anak yang mendekam di penjara. Jarang dari mereka yang mendapatkan akses untuk bantuan hukum, padahal konvensi PBB untuk hak anak telah menyatakan bahwa anak-anak yang melanggar hukum berhak mendapat bantuan hukum dan perlakuan yang adil dalam sistem peradilan. Konvensi ini juga menyatakan bahwa tidak seorang pun diperbolehkan menghukum anak-anak dengan cara yang kejam atau membahayakan. Hal ini terjadi karena masih banyaknya anak Indonesia yang hidup dalam kemiskinan dan tidak mempunyai kesempatan untuk bersekolah dan hidup sehat. Kebanyakan kasus yang dialami oleh narapidana anak biasanya terkait pencurian kecil. Namun sebagian besar dari mereka berbagi sel di penjara dengan narapidana dewasa.
Kondisi ini tentu saja sangat memprihatinkan, karena banyak anak-anak yang harus berhadapan dengan proses peradilan. Keberadaan anak-anak dalam tempat penahanan dan pemenjaraan bersama orang-orang yang lebih dewasa, menempatkan anak-anak pada situasi rawan menjadi korban berbagai tindak kekerasan. Oleh karena itu dibutuhkan perhatian, dorongan dan upaya yang kuat agar dapat dilakukan pemantauan secara terus menerus, independen dan obyektif guna meminimalkan kerugian-kerugian yang dapat diderita oleh anak-anak yang terpaksa berhadapan dengan hukum atau sistem peradilan. Setidaknya, upaya ini mengacu kepada standar nilai dan perlakuan sejumlah instrumen lokal maupun internasional yang berlaku, di antaranya adalah Konvensi Hak-Hak Anak tahun 1989, Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia (Res. PBB No. 39/46 tahun 1984), Peraturan-Peraturan Minimum Standar Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Administrasi Peradilan Bagi Anak/The Beijing Rules (Res.No. 40/33 tahun 1985), Kumpulan Prinsip-Prinsip untuk Perlindungan Semua Orang yang Berada di bawah Bentuk Penahanan Apa pun atau Pemenjaraan (Res. PBB No. 43/173 tahun 1988), Peraturan-Peraturan Perserikatan Bangsa-Bangsa bagi Perlindungan Anak yang Kehilangan Kebebasannya (Res. No. 45/113 tahun 1990), UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak, dan UU No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.
Keterbatasan data pada sisi lain menunjukkan bahwa penelitian, pengamatan, kajian dan tentang situasi anak-anak yang berhadapan dengan hukum menjadi amat penting dilakukan. Analisa Situasi Anak-Anak yang Berada dalam Sistem Peradilan merupakan analisa situasi terhadap proses peradilan yang dihadapi anak, baik ketika anak berurusan dengan polisi, penuntut umum, maupun ketika anak menjalani sidang pengadilan. Ini mencakup juga ketika anak-anak berada di dalam lembaga penahanan atau pemenjaraan.
Sepanjang tahun 2000, tercatat dalam statistik kriminal kepolisian terdapat lebih dari 11,344 anak yang disangka sebagai pelaku tindak pidana. Pada bulan Januari hingga Mei 2002, ditemukan 4,325 tahanan anak di rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan di seluruh Indonesia. Lebih menyedihkan, sebagian besar (84.2%) anak-anak ini berada di dalam lembaga penahanan dan pemenjaraan untuk orang-orang dewasa dan pemuda. Jumlah anak-anak yang ditahan tersebut, tidak termasuk anak-anak yang ditahan dalam kantor polisi (Polsek, Polres, Polda dan Mabes). Pada rentang waktu yang sama, yaitu Januari hingga Mei 2002, tercatat 9,465 anak-anak yang berstatus sebagai Anak Didik (Anak Sipil, Anak Negara dan Anak Pidana) tersebar di seluruh rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan. Sebagian besar, yaitu 53.3%, berada di rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan untuk orang dewasa dan pemuda.