Selasa, 31 Mei 2011

KEPAKSIAN SEKALA BERAK

Kepaksian Sekala Brak

Sekala Brak (Baca: Sekala Bekhak) adalah sebuah kerajaan yang bercirikan Hindu dan dikenal dengan Kerajaan Sekala Brak Hindu yang setelah kedatangan Empat Umpu dari Pagaruyung yang menyebarkan agama Islam kemudian berubah menjadi Kepaksian Sekala Brak, terletak di kaki Gunung Pesagi (gunung tertinggi di Lampung) Yang menjadi cikal-bakal suku bangsa etnis Lampung saat ini.
Asal usul bangsa Lampung adalah dari Sekala Brak yaitu sebuah Kerajaan yang letaknya di dataran Belalau, sebelah selatan Danau Ranau yang secara administratif kini berada di Kabupaten Lampung Barat. Dari dataran Sekala Brak inilah bangsa Lampung menyebar ke setiap penjuru dengan mengikuti aliran Way atau sungai-sungai yaitu way komering, way kanan, way semangka, way seputih, way sekampung dan way tulang bawang beserta anak sungainya, sehingga meliputi dataran Lampung dan Palembang serta Pantai Banten.
Sekala Brak memiliki makna yang dalam dan sangat penting bagi bangsa Lampung. Ia melambangkan peradaban, kebudayaan dan eksistensi Lampung itu sendiri. Bukti tentang kemasyuran kerajaan Sekala Brak didapat dari cerita turun temurun yang disebut warahan, warisan kebudayaan, adat istiadat, keahlian serta benda dan situs seperti tambo dan dalung seperti yang terdapat di Kenali, Batu Brak dan Sukau. Kata LAMPUNG sendiri berawal dari kata "Anjak Lambung" yang berarti berasal dari ketinggian (Diandra Natakembahang:2005) ini karena para puyang Bangsa Lampung pertama kali bermukim menempati dataran tinggi Sekala Brak di lereng Gunung Pesagi. Sebagaimana I Tshing yang pernah mengunjungi Sekala Brak setelah kunjungannya dari Sriwijaya dan beliau menyebut To-Langpohwang bagi penghuni negeri ini. Dalam bahasa hokkian, dialek yang dipertuturkan I Tshing, To-Langpohwang berarti Orang Atas dan seperti diketahui Pesagi dan dataran tinggi Sekala Brak adalah puncak tertinggi di Tanoh Lampung.
Ada beberapa teori tentang etimologi Sekala Brak (Diandra Natakembahang:2005), yaitu:
  • Sakala Bhra yang berarti titisan dewa (terkait dengan Kerajaan Sekala Brak Hindu)
  • Segara Brak yang berarti genangan air yang luas (diketahui sebagai Danau Ranau)
  • Sekala Brak yang berarti tumbuhan sekala dalam jumlah yang banyak dan luas (tumbuhan ini banyak terdapat di Pesagi dan dataran tingginya)
Tafsiran para ahli purbakala seperti Groenevelt, L.C.Westernenk dan Hellfich di dalam menghubungkan bukti bukti memiliki pendapat yang berbeda beda namun secara garis besar didapat benang merah kesamaan dan acuan yang tidak diragukan di dalam menganalisa bahwa Sekala Brak merupakan cikal bakal bangsa Lampung.
Dalam buku The History of Sumatra karya The Secretary to the President and the Council of Port Marlborough Bengkulu, William Marsdn, 1779, diketahui asal-usul Penduduk Asli Lampung. Didalam bukunya William Marsdn mengungkapkan "If you ask the Lampoon people of these part, where originally comme from they answere, from the hills, and point out an island place near the great lake whence, the oey, their forefather emigrated…". "Apabila tuan-tuan menanyakan kepada Masyarakat Lampung tentang dari mana mereka berasal, mereka akan menjawab dari dataran tinggi dan menunjuk ke arah Gunung yang tinggi dan sebuah Danau yang luas.."
Dari tulisan ini bisa disimpulkan bahwa yang dimaksud danau tersebut ialah Danau Ranau. Sedangkan Gunung yang berada dekat Danau adalah Gunung Pesagi, Sebagaimana juga ditulis Zawawi Kamil (Menggali Babad & Sedjarah Lampung) disebutkan dalam sajak dialek Komering/Minanga: "Adat lembaga sai ti pakaisa buasal jak Belasa Kapampang, Sajaman rik tanoh pagaruyung pemerintah bunda kandung, Cakak di Gunung Pesagi rogoh di Sekala Berak, Sangon kok turun temurun jak ninik puyang paija, Cambai urai ti usung dilom adat pusako" Terjemahannya berarti "Adat Lembaga yang digunakan ini berasal dari Belasa Kepampang (Nangka Bercabang), Sezaman dengan ranah pagaruyung pemerintah bundo kandung, Naik di Gunung Pesagi turun di Sekala Berak, Memang sudah turun temurun dari nenek moyang dahulu, Sirih pinang dibawa di dalam adat pusaka, Kalau tidak pandai tata tertib tanda tidak berbangsa".
Dalam catatan Kitab Tiongkok kuno yang disalin oleh Groenevelt kedalam bahasa Inggris bahwa antara tahun 454 dan 464 Masehi disebutkan kisah sebuah Kerajaan Kendali yang terletak di antara pulau Jawa dan Kamboja. Prof. Wang Gungwu dalam majalah ilmiah Journal of Malayan Branch of the Royal Asiatic Society dengan lebih spesifik menyebutkan bahwa pada tahun tahun 441, 455, 502, 518, 520, 560 dan 563 yang mulia Sapanalanlinda dari Negeri Kendali mengirimkan utusannya ke Negeri Cina. Menurut L.C. Westenenk nama Kendali ini dapat kita hubungkan dengan Kenali Ibukota Kecamatan Belalau sekarang. Nama Sapalananlinda itu menurut kupasan dari beberapa ahli sejarah, dikarenakan berhubung lidah bangsa Tiongkok tidak fasih melafaskan kata Sribaginda, ini berarti Sapanalanlinda bukanlah suatu nama.
Hal diatas membuktikan bahwa pada abad ke 3 telah berdiri Kerajaan Sekala Brak Kuno yang belum diketahui secara pasti kapan mulai berdirinya. Kerajaan Sekala Brak ini dihuni oleh Buay Tumi dengan Ibu Negeri Kenali dan Agama resminya adalah Hindu Bairawa. Hal ini dibuktikan dengan adanya Batu Kepampang di Kenali yang fungsinya adalah sebagai alat untuk mengeksekusi Pemuda dan Pemudi yang tampan dan cantik sebagai tumbal dan persembahan untuk para Dewa.
Riwayat leluhur Bangsa Lampung/Sekala Brak dapatditelusuri melalui warahan (cerita turun temurun),tambo (catatan pada kulit kayu),maupun hahiwang (puisi/syair adat). Di lereng gunung Pesagi,dapat ditemukan berbagai peninggalan lain,seperti bebatuan yang tersebar di gunung Pesagi,tapak bekas kaki,altar/tempat eksekusi muda-mudi.
Kerajaan Sekala Brak menjalin kerjasama perdagangan antar pulau dengan Kerajaan Kerajaan lain di Nusantara dan bahkan dengan India dan Negeri Cina. Prof. Olivier W. Wolters dari Universitas Cornell, dalam bukunya Early Indonesian Commerce, Cornell University Press, Ithaca, New York, 1967, hal. 160, mengatakan bahwa ada dua kerajaan di Asia Tenggara yang mengembangkan perdagangan dengan Cina pada abad 5 dan 6 yaitu Kendali di Andalas dan Ho-lo-tan di Jawa. Dalam catatan Dinasti Liang (502-556) disebutkan tentang letak Kerajaan Sekala Brak yang ada di Selatan Andalas dan menghadap kearah Samudra India, Adat Istiadatnya sama dengan Bangsa Kamboja dan Siam, Negeri ini menghasilkan pakaian yang berbunga, kapas, pinang, kapur barus dan damar.
Dari Prasasti Hujung Langit (Hara Kuning) bertarikh 9 Margasira 919 Caka yang di temukan di Bunuk Tenuar Liwa terpahat nama raja di daerah Lampung yang pertama kali ditemukan pada prasasti. Prasasti ini terkait dengan Kerajaan Sekala Brak kuno yang masih dikuasai oleh Buay Tumi. Prof. Dr. Louis-Charles Damais dalam buku Epigrafi dan Sejarah Nusantara yang diterbitkan oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Jakarta, 1995, halaman 26-45, diketahui nama Raja yang mengeluarkan prasasti ini tercantum pada baris ke-7, menurut pembacaan Prof. Damais namanya adalah Baginda Sri Haridewa.
Lebih jauh lagi Sekala Brak Hindu adalah juga merupakan cikal bakal Sriwijaya, dimana saat persebaran awal dimulai dari dataran tinggi Pesagi dan Danau Ranau satu kelompok menuju keselatan menyusuri dataran Lampung dan kelompok yang lain menuju kearah utara menuju dataran palembang (Van Royen:1927). Bahkan seorang keturunan dari Sekala Brak Hindu adalah merupakan Pendiri dari Dinasti Sriwijaya adalah Dapunta Hyang Sri Jayanaga yang memulai Dinasti Sriwijaya awal dengan ibu negeri Minanga Komering (Arlan Ismail:2003).
Berdasarkan Warahan dan Sejarah yang disusun di dalam Tambo, dataran Sekala Brak yang pada awalnya dihuni oleh suku bangsa Tumi ini mengagungkan sebuah pohon yang bernama Belasa Kepampang atau nangka bercabang karena pohonnya memiliki dua cabang besar, yang satunya nangka dan satunya lagi adalah sebukau yaitu sejenis kayu yang bergetah. Keistimewaan Belasa Kepampang ini bila terkena cabang kayu sebukau akan dapat menimbulkan penyakit koreng atau penyakit kulit lainnya, namun jika terkena getah cabang nangka penyakit tersebut dapat disembuhkan. Karena keanehan inilah maka Belasa Kepampang ini diagungkan oleh suku bangsa Tumi.

Diriwayatkan di dalam Tambo empat orang Putera Raja Pagaruyung Maulana Umpu Ngegalang Paksi tiba di Sekala Brak untuk menyebarkan agama Islam. Fase ini merupakan bagian terpenting dari eksistensi masyarakat Lampung. Dengan kedatangan Keempat Umpu ini maka merupakan kemunduran dari Kerajaan Sekala Brak Kuno atau Buay Tumi yang merupakan penganut Hindu Bairawa/Animisme dan sekaligus merupakan tonggak berdirinya Kepaksian Sekala Brak atau Paksi Pak Sekala Brak yang berasaskan Islam. Keempat Putera Maulana Umpu Ngegalang Paksi masing masing adalah:
  1. Umpu Bejalan Di Way Beliau adalah Pendiri Paksi Buay Bejalan Diway memerintah dan dimakamkan di Puncak, Sukarami Liwa
  2. Umpu Belunguh Beliau adalah Pendiri Paksi Buay Belunguh memerintah di Kenali
  3. Umpu Nyerupa. Beliau adalah Pendiri Paksi Buay Nyerupa memerintah di Tapak Siring
  4. Umpu Pernong. Beliau adalah Pendiri Paksi Buay Pernong memerintah di Batu Brak
Umpu berasal dari kata Ampu seperti yang tertulis pada batu tulis di Pagaruyung yang bertarikh 1358 A.D. Ampu Tuan adalah sebutan Bagi anak Raja Raja Pagaruyung Minangkabau. Setibanya di Sekala Brak keempat Umpu bertemu dengan seorang Muli yang ikut menyertai para Umpu dia adalah Si Bulan. Di Sekala Brak keempat Umpu tersebut mendirikan suatu perserikatan yang dinamai Paksi Pak yang berarti Empat Serangkai atau Empat Sepakat.
Setelah perserikatan ini cukup kuat maka suku bangsa Tumi dapat ditaklukkan dan sejak itu berkembanglah agama Islam di Sekala Brak. Pemimpin Buay Tumi dari Kerajaan Sekala Brak saat itu adalah seorang wanita yang bernama Ratu Sekeghumong yang pada akhirnya dapat ditaklukkan oleh Perserikatan Paksi Pak. Sedangkan penduduk yang belum memeluk agama Islam melarikan diri ke Pesisir Krui dan terus menyeberang ke pulau Jawa dan sebagian lagi ke daerah Palembang. Raja terakhir dari Buay Tumi Sekala Brak adalah Kekuk Suik sebagai anak laki-laki dari Ratu Sekeghumong dengan wilayah kekuasaannya yang terakhir di Pesisir Selatan Krui -Tanjung Cina.
Dataran Sekala Brak akhirnya dikuasai oleh keempat Umpu yang disertai Si Bulan, Maka Sekala Brak kemudian diperintah oleh keempat Umpu dengan menggunakan nama Paksi Pak Sekala Brak. Inilah cikal bakal Kepaksian Sekala Brak yang merupakan puyang bangsa Lampung. Kepaksian Sekala Brak mereka bagi menjadi empat Marga atau Kebuayan yaitu:
  1. Umpu Bejalan Di Way memerintah daerah Kembahang dan Balik Bukit dengan Ibu Negeri Puncak, daerah ini disebut dengan Paksi Buay Bejalan Di Way.
  2. Umpu Belunguh memerintah daerah Belalau dengan Ibu Negerinya Kenali, daerah ini disebut dengan Paksi Buay Belunguh.
  3. Umpu Nyerupa memerintah daerah Sukau dengan Ibu Negeri Tapak Siring, daerah ini disebut dengan Paksi Buay Nyerupa.
  4. Umpu Pernong memerintah daerah Batu Brak dengan Ibu Negeri Hanibung, daerah ini disebut dengan Paksi Buay Pernong
Sedangkan Si Bulan mendapatkan daerah Cenggiring namun kemudian Si Bulan berangkat dari Sekala Brak menuju kearah matahari hidup. Dan daerah pembagiannya digabungkan ke daerah Paksi Buay Pernong karena letaknya yang berdekatan.
Suku bangsa Tumi yang lari kedaerah Pesisir Krui menempati marga marga Punggawa Lima yaitu Marga Pidada, Marga Bandar, Marga Laai dan Marga Way Sindi namun kemudian dapat ditaklukkan oleh Lemia Ralang Pantang yang datang dari daerah Danau Ranau dengan bantuan lima orang punggawa dari Paksi Pak Sekala Brak. Dari kelima orang punggawa inilah nama daerah ini disebut dengan Punggawa Lima karena kelima punggawa ini hidup menetap pada daerah yang telah ditaklukkannya.
Agar syiar agama Islam tidak mendapatkan hambatan maka pohon Belasa Kepampang itu akhirnya ditebang untuk kemudian dibuat PEPADUN. Pepadun adalah singgasana yang hanya dapat digunakan atau diduduki pada saat penobatan SAIBATIN Raja Raja dari Paksi Pak Sekala Brak serta keturunan keturunannya. Dengan ditebangnya pohon Belasa Kepampang ini merupakan pertanda jatuhnya kekuasaan suku bangsa Tumi sekaligus hilangnya faham animisme di kerajaan Sekala Brak. Sekitar awal abad ke 9 Masehi para Saibatin di Sekala Brak menciptakan aksara dan angka tersendiri sebagai Aksara Lampung yang dikenal dengan Had Lampung.
Ada dua makna di dalam mengartikan kata Pepadun, yaitu:
  1. Dimaknakan sebagai PAPADUN yang maksudnya untuk memadukan pengesahan atau pengakuan untuk mentahbiskan bahwa yang duduk diatasnya adalah Raja.
  2. Dimaknakan sebagai PAADUAN yang berarti tempat mengadukan suatu hal ihwal. Maka jelaslah bahwa mereka yang duduk diatasnya adalah tempat orang mengadukan suatu hal atau yang berhak memberikan keputusan.
Ini jelas bahwa fungsi Pepadun hanya diperuntukkan bagi Raja Raja yang memerintah di Sekala Brak. Atas mufakat dari keempat Paksi maka Pepadun tersebut dipercayakan kepada seseorang yang bernama Benyata untuk menyimpan, serta ditunjuk sebagai bendahara Pekon Luas, Paksi Buay Belunguh dan kepadanya diberikan gelar Raja secara turun temurun.
Manakala salah seorang dari keempat Umpu dan keturunannya memerlukan Pepadun tersebut untuk menobatkan salah satu keturunannya maka Pepadun itu dapat diambil atau dipinjam yang setelah digunakan harus dikembalikan. Adanya bendahara yang dipercayakan kepada Benyata semata mata untuk menghindari perebutan atau perselisihan di antara keturunan keturunan Paksi Pak Sekala Brak dikemudian hari.
Pada Tahun 1939 terjadi perselisihan di antara keturunan Benyata memperebutkan keturunan yang tertua atau yang berhak menyimpan Pepadun. Maka atas keputusan kerapatan adat dengan persetujuan Paksi Pak Sekala Brak dan Keresidenan, Pepadun tersebut disimpan dirumah keturunan yang lurus dari Umpu Belunguh hingga sekarang.

Seperti yang telah diuraikan sebelumnya semua suku bangsa Lampung, baik yang berada di daerah Lampung, Palembang, dan Pantai Banten berpengakuan berasal dari Sekala Brak. Perpindahan Warga Negeri Sekala Brak ini bukannya sekaligus melainkan bertahap dari waktu ke waktu yang dipengaruhi oleh beberapa peristiwa penting di dalam sejarah seperti:
  1. Ketika suku bangsa Tumi yang mendiami Sekala Brak terusir dan Skala Brak jatuh ketangan Paksi Pak Sekala Brak, hingga mereka menyebar kedaerah lain.
  2. Perselisihan dan silang sengketa dikalangan keluarga yang mengakibatkan satu fihak meninggalkan Sekala Brak untuk mencari penghidupan ditempat lain.
  3. Adanya bencana alam berupa gempa bumi yang memaksa sebagian Warga Negeri Sekala Brak untuk berpindah dan mencari penghidupan yang baru.
  4. Adanya hubungan yang erat antara Kesultanan Banten dan Kebuayan Belunguh -Kenali, dimana dengan sengaja ditinggalkan disepanjang jalan beberapa orang suami istri untuk meluaskan daerah dan memudahkan perjalanan pulang pergi ke Banten. Sehingga berabad kemudian ditempat itu berdiri Pekon Pekon bahkan banyak yang sudah menjadi Marga. Hubungan inilah yang merupakan asal dari Cikoneng Pak Pekon di Pantai Banten.
  5. Perpindahan juga terjadi disebabkan peraturan adat yang mengikat yang menetapkan semua hak hak adat jatuh atau diwarisi oleh Putera Tertua, sehingga anak anak yang muda dipastikan tidak sepenuhnya memiliki hak apalagi kedudukan tertentu di dalam adat. Dengan cara memilih untuk pindah kedaerah yang baru maka dapat dipastikan mereka memiliki kedudukan dan tingkatan di dalam adat yang mereka bentuk sendiri ditempat yang baru.
Perpindahan penduduk dari Sekala Brak ini sebagian mengikuti aliran Way Komring yang dikepalai oleh Pangeran Tongkok Podang, untuk seterusnya beranak pinak dan mendirikan Pekon atau Negeri. Kesatuan dari Pekon Pekon ini kemudian menjadi Marga Atau Buay yang diperintah oleh seorang Raja atau Saibatin di daerah Komring –Palembang. Sebagian kelompok lagi pergi kearah Muara Dua, kemudian menuju keselatan menyusuri aliran Way Umpu hingga sampai di Bumi Agung. Kelompok ini terus berkembang dan kemudian dikenal dengan Lampung Daya atau Lampung Komring yang menempati daerah Marta Pura dan Muara Dua di Komring Ulu, serta daerah Kayu Agung dan Tanjung Raja atau Komring Ilir.
Kelompok yang lain yang dipimpin oleh Puyang Rakian dan Puyang Nayan Sakti menuju ke Pesisir Krui dan menempati Pesisir Krui mulai dari Bandar Agung di selatan pesisir hingga Pugung Tampak dan Pulau Pisang di utara. Kelompok yang dipimpin oleh Puyang Naga Berisang dan Ratu Piekulun Siba menyusuri Way Kanan menuju ke Pakuan Ratu, Blambangan Umpu dan Sungkai Bunga Mayang di barat laut Lampung untuk meneruskan jurai dan keturunannya hingga meliputi sebagian utara dataran Lampung.
Adipati Raja Ngandum memimpin kelompok yang menuju ke Pesisir Selatan Lampung Mengikuti aliran Way Semangka hingga kehilirnnya di Kubang Brak. Dari Kubang Brak sebagian rombongan ini terus menuju kearah Kota Agung, Talang Padang, Way Lima hingga ke selatan Lampung di Teluk Betung, Kalianda dan Labuhan Maringgai. Daerah Pantai Banten yang merupakan daerah Cikoneng Pak Pekon adalah wilayah yang diberikan sebagai hadiah kepada Umpu Junjungan Sakti dari Kenali -Buay Belunguh setelah menumpas kerusuhan yang diakibatkan oleh Si Buyuh.
Sebagian lagi yang dikepalai oleh Menang Pemuka yang bergelar Ratu Di Puncak menyusuri sepanjang Way Rarem, Way Tulang Bawang dan Way Sekampung. Menang Pemuka atau Ratu Di Puncak memiliki tiga orang istri, istri yang pertama. berputera Nunyai, dari istri kedua memiliki dua orang anak yaitu seorang putera yang diberi nama Unyi dan seorang puteri yang bernama Nuban, sedangkan dari istri ketiga yang berasal dari Minangkabau memiliki seorang putera yang bernama Bettan Subing. Jurai Ratu Di Puncak inilah yang menurunkan orang Abung. Sedangkan Tulang Bawang adalah keturunan dari Indarwati yang Bergelar Putri Si Buay Bulan yang pada awalnya bertahta di Cenggiring Sekala Brak.

Seperti telah diterangkan terdahulu Pepadun dibuat dari Belasa Kepampang yang dibuat sedemikian rupa menjadi singgasana tempat bertahtanya Raja yang dinobatkan di Paksi Pak Sekala Brak. Ketetapan adat bahwa hanya keturunan yang lurus dan tersulung dari Paksi Pak Sekala Brak yang berhak untuk dapat duduk diatas Pepadun itu dalam gawi penobatan Raja sebagai Saibatin. Dengan demikian adat Pepadun seperti yang terdapat di daerah Lampung lainnya tidak seperti daerah asalnya di Sekala Brak.
Pertimbangan untuk menaikkan atau menurunkan pangkat adat seseorang dilakukan dalam permufakatan sidang adat dengan memperhatikan kesetiaan seseorang kepada garis dan aturan adat dinilai telah memenuhi syarat dan mematuhi garis, ketentuan dan aturan adat, untuk seterusnya keturunannya dapat dipertimbangkan untuk dinaikkan setingkat pangkat adatnya. Namun jika yang terjadi sebaliknya kemungkinan untuk keturunannya pangkat adat itu tetap atau bahkan diturunkan.
Pertimbangan yang kedua untuk menaikkan pangkat adat seseorang adalah dengan melihat jumlah bawahan dari seseorang yang akan dinaikkan pangkat adatnya. Seseorang yang yang menyandang pangkat adat atau Gelaran yang disebut ADOK harus memiliki bawahan yang berbanding dengan kedudukan pangkat adatnya.
Tingkatan tertinggi dalam adat adalah Saibatin Suntan. Untuk dapat mencapai Gelaran atau Adok dan kedudukan atau pangkat adat ditentukan oleh berapa banyak bawahan atau pengikut dari seseorang. Hirarki Adat dalam Kepaksian Sekala Brak dari yang tertinggi sampai yang terendah adalah:
  1. Suntan
  2. Raja
  3. Batin
  4. Radin
  5. Minak
  6. Kemas
  7. Mas
Petutughan atau panggilan dalam Masyarakat Adat Lampung adalah berdasarkan hirarki seseorang di dalam adat. Untuk panggilan kakak adalah Pun dan Ghatu untuk Suntan, Atin untuk Raja, Udo Dang dan Cik Wo untuk Batin, Udo dan Wo untuk Radin, Udo Ngah dan Cik Ngah untuk Minak, Abang dan Ngah untuk Mas serta kakak untuk Kemas. Sedangkan panggilan untuk orang tua adalah Akan dan Ina Dalom untuk Suntan, Aki dan Ina Batin untuk Raja, Ayah dan Ina Batin untuk Batin sedangkan untuk Radin, Mas dan Kimas menggunakan panggilan Mak dan Bak. Panggilan kepada setingkat panggilan orang tua seperti paman dan bibi adalah; Pak Dalom dan Ina Dalom untuk Suntan, Pak Batin dan Ina Batin untuk Raja, Tuan Tengah- dan Cik Tengah untuk Batin, Pak Balak dan Ina Balak untuk Radin, Pak Ngah dan Mak Ngah untuk Minak, Pak Lunik dan Ina Lunik untuk Mas serta Pak Cik dan Mak Cik untuk Kemas. Panggilan untuk kakek-nenek adalah Tamong Dalom dan Kajong Dalom untuk setingkat Suntan, Tamong Batin dan Kajong Batin untuk setingkat Raja dan Batin sedangkan untuk Radin, Minak, Mas dan Kemas menggunakan panggilan Tamong dan Kajong saja.
Gelaran atau Adok -DALOM, SUNTAN, RAJA, RATU, panggilan seperti PUN dan SAIBATIN serta nama LAMBAN GEDUNG hanya diperuntukkan bagi Saibatin dan keluarganya dan dilarang dipakai oleh orang lain. Dalam garis dan peraturan adat tidak terdapat kemungkinan untuk membeli Pangkat Adat, baik dengan Cakak Pepadun atau dengan cara cara lainnya terutama di dataran Skala Brak sebagai warisan resmi dari kerajaan Paksi Pak Sekala Brak.
Tentang kepangkatan seseorang dalam adat tidaklah dapat dinilai dari materi dan kekuatan yang dapat menaikkan kedudukan seseorang di dalam lingkungan adat, melainkan ditentukan oleh asal, akhlak dan banyaknya pengikut seseorang dalam lingkungan adat. Bilamana ketiganya terpenuhi maka kedudukan seseorang di dalam adat tidak perlu dibeli dengan harta benda atau diminta dan akan dianugerahkan dengan sendirinya.
Kesempatan untuk menaikkan kedudukan seseorang di dalam adat dapat pula dilaksanakan pada acara Nayuh atau Pernikahan, Khitanan dan lain lain. Pengumuman untuk Kenaikan Pangkat ini, dilaksanakan dengan upacara yang lazim menurut adat di antara khalayak dengan penuh khidmat diiringi alunan bunyi Canang disertai bahasa Perwatin yang halus dan memiliki arti yang dalam.
Bahasa Perwatin adalah ragam bahasa yang teratur, tersusun yang berkaitan dengan indah dan senantiasa memiliki makna yang anggun, ragam bahasa ini lazim digunakan dilingkungan adat dan terhadap orang yang dituakan atau dihormati. Sedangkan Bahasa Merwatin adalah ragam bahasa pasaran yang biasa digunakan sehari hari yang dalam perkembangannya banyak dipengaruhi oleh bahasa bahasa lain.
Prosesi kenaikan seseorang di dalam adat dihadiri oleh Saibatin Suntan atau Perwakilan yang ditunjuk beserta para Saibatin dan Pembesar lainnya. Dari rangkaian kata kata dalam bentuk syair dapat disimak ungkapan “Canang Sai Pungguk Ghayu Ya Mibogh Di Dunia Sapa Ngeliak Ya Nigham Sapa Nengis Ya Hila”
Terjemahannya bebasnya bermakna “Bunyi Gong Laksana Suara Pungguk Yang Syahdu Merayu, Gemanya Terdengar Keseluruh Dunia, Siapa Yang Melihat Ia Terkesima Dan Rindu, Siapa Yang Mendengarnya Ia Akan Terharu”. Ini bermakna bahwa pengumuman kenaikan kedudukan seseorang di dalam adat telah diumumkan secara resmi.
Tentang adanya penggunaan Pepadun di daerah Lampung lainnya dimana kedudukan di dalam adat itu dapat dibeli atau menaikkan kedudukan di dalam adat dengan mengadakan Bimbang Besar. Cakak Pepadun di wilayah ini dapat dianalisa awal pelaksanaannya sebagai berikut –Warga Negeri yang memiliki hubungan genealogis dari salah satu Paksi Pak Sekala Brak dan beberapa kelompok pendatang dari daerah lain yang menempati wilayah yang baru ini tentu jauh dari pengaruh Saibatin serta Garis, Peraturan, dan Ketentuan adat yang berlaku dan mengikat.
Ditempat yang baru ini tentu dengan sendirinya harus ada Pemimpin dan Panutan yang ditaati oleh kelompok kelompok ditempat baru itu untuk membentuk suatu komunitas baru dan orang yang dipilih sebagai Pimpinan Komunitas ini dipastikan orang yang meiliki kekayaan dan kekuatan untuk dapat melindungi komunitasnya. Karenanya pada daerah Lampung tertentu dapat saja seseorang yang tidak memiliki trah bangsawan mengangkat dirinya menjadi pemimpin atau kepala adat dengan kompensasi tertentu.
Cara cara pengangkatan diri ini mengambil contoh penobatan Saibatin Raja dari daerah asalnya Paksi Pak Sekala Brak, pada masa berikutnya peristiwa Cakak Pepadun telah menjadi kebiasaan dan diteruskan sampai sekarang. Di wilayah baru ini rupanya tidak ada larangan tentang Pangkat Adat dengan melihat kenyataan yang ada bahwa Gelaran Gelaran atau Adok yang Sakral dan dipegang teguh di Paksi Pak Sekala Brak ternyata bahkan menjadi suatu gelaran umum di daerah ini.
Setelah soal naik Pepadun dengan tidak ada dasar ini menjadi suatu perlombaan yang hebat dikalangan khalayak, kesempatan ini digunakan oleh pasa penyimbang untuk mencari kekayaan dan setelah itu meningkat sedemikian rupa hingga mendatangkan kerugian yang besar bagi khalayak di dalam mengadakan Bimbang Besar. Keadaan ini dimanfaatkan oleh Pemerintah Belanda dengan memfasilitasi tindakan tindakan kearah ini.
Pada zaman imperialis hal ini dimanfaatkan oleh kaum imperialis dengan memecah belah Bangsa Lampung sehingga perbedaan yang ada digunakan sebagai umpan untuk memperuncing pertentangan di antara Bangsa Lampung sendiri terutama di dalam Adat. Belanda menggantikan kedudukan Raja dengan kedudukan sebagai Pesirah. Bentuk pemerintahan yang tadinya dijalankan dalam tatanan kemurnian dan keluhuran Adat perlahan diarahkan untuk mengikuti kepentingan Belanda.

Masyarakat Lampung hidup teratur dengan berpegang kepada norma dan adat perniti baik yang tertulis dalam huruf Lampung Kuno maupun secara lisan secara turun temurun. Kehidupan kemasyarakatan diatur dengan sistem kekerabatan yang bersifat Genealogis Patrilineal dimana pemerintahan dilakukan secara adat terutama yang mengatur sistem mata pencaharian hidup, sistem kekerabatan, kehidupan sosial dan budaya.
Secara Harfiah Buway (Bu-Way) berarti pemilik air atau pemilik daerah kekuasaan berdasarkan daerah aliran air atau sungai (Diandra Natakembahang:2005). Pembagian daerah dan wilayah berdasarkan sungai sungai atau way yang ada di Lampung sehingga menjadi beberapa Marga Atau Buway, pembagian ini dimaksudkan agar tidak terjadi perselisihan antar marga atau kebuayan. Pembagian wilayah ini diatur oleh Umpu Bejalan Di Way.
A. Wilayah Kekuasaan Kepaksian inti Paksi Pak Sekala Brak:
  1. Way Selalau
  2. Way Belunguh
  3. Way Kenali
  4. Way Kamal
  5. Way Kandang Besi
  6. Way Semuong
  7. Way Sukau
  8. Way Ranau
  9. Way Liwa
  10. Way Krui
  11. Way Semaka
  12. Way Tutung
  13. Way Jelai
  14. Way Benawang
  15. Way Ngarip
  16. Way Wonosobo
  17. Way Ilahan
  18. Way Kawor Gading
  19. Way Haru
  20. Way Tanjung Kejang
  21. Way Tanjung Setia

B. Wilayah Kekuasaan Penyimbang Punggawa Melinting:
  1. Way Meringgai
  2. Way Kalianda
  3. Way Harong
  4. Way Palas
  5. Way Jabung
  6. Way Tulung Pasik
  7. Way Jepara
  8. Way Kambas
  9. Way Ketapang
  10. Way Limau
  11. Way Badak
  12. Way Pertiwi
  13. Way Putih Doh
  14. Way Kedondong
  15. Way Bandar Pasir
  16. Way Punduh
  17. Way Pidada
  18. Way Batu Regak
  19. Way Berak
  20. Way Kelumbayan
  21. Way Peniangan

C. Wilayah Kekuasaan Penyimbang Punggawa Pubiyan Telu Suku:
  1. Way Pubiyan
  2. Way Tebu
  3. Way Ratai
  4. Way Seputih
  5. Way Balau
  6. Way Penindingan
  7. Way Semah
  8. Way Salak Berak
  9. Way Kupang Teba
  10. Way Bulok
  11. Way Latayan
  12. Way Waya
  13. Way Samang
  14. Way Layap
  15. Way Pengubuan
  16. Way Sungi Sengok
  17. Way Peraduan
  18. Way Batu Betangkup
  19. Way Selom
  20. Way Heni.
  21. Way Naningan

D. Wilayah Kekuasaan Penyimbang Punggawa Sungkay Bunga Mayang:
  1. Way Sungkay
  2. Way Malinai
  3. Way Tapus
  4. Way Tapus
  5. Way Ulok Buntok
  6. Way Tapal Badak
  7. Way Kujau
  8. Way Surang
  9. Way Kistang
  10. Way Raman Gunung
  11. Way Rantau Tijang
  12. Way Tulung Selasih
  13. Way Tulung Biuk
  14. Way Tulung Maus
  15. Way Tulung Cercah
  16. Way Tulung Hinduk
  17. Way Tulung Mengundang
  18. Way Kubu Hitu
  19. Way Pengacaran
  20. Way Cercah
  21. Way Pematang Hening

E. Wilayah Kekuasaan Penyimbang Punggawa Buay Lima Way Kanan:
  1. Way Umpu
  2. Way Besay
  3. Way Jelabat
  4. Way Sunsang
  5. Way Putih Kanan
  6. Way Pengubuan Kanan
  7. Way Giham
  8. Way Petay
  9. Way Hitam
  10. Way Dingin
  11. Way Napalan
  12. Way Gilas
  13. Way Bujuk
  14. Way Tuba
  15. Way Baru
  16. Way Tenong
  17. Way Kistang
  18. Way Panting Kelikik
  19. Way Kabau
  20. Way Kelom
  21. Way Peti

F. Wilayah Kekuasaan Penyimbang Punggawa Abung Siwo Mego:
  1. Way Abung
  2. Way Melan
  3. Way Sesau
  4. Way Kunyaian
  5. Way Sabu
  6. Way Kulur
  7. Way Kumpa
  8. Way Bangik
  9. Way Babak
  10. Way Tulung Balak
  11. Way Galing
  12. Way Cepus
  13. Way Muara Toping
  14. Way Terusan Nunyai
  15. Way Pematang Hening
  16. Way Banyu Urip
  17. Way Candi Sungi
  18. Way Tulung Biuk
  19. Way Tulung Pius
  20. Way Umban
  21. Way Guring

G. Wilayah Kekuasaan Penyimbang Punggawa Mego Pak Tulang Bawang:
  1. Way Rarem
  2. Way Gedong Aji
  3. Way Penumangan
  4. Way Panaragan
  5. Way Kibang
  6. Way Ujung Gunung
  7. Way Nunyik
  8. Way Lebuh Dalom
  9. Way Gunung Tukang
  10. Way Pagar Dewa
  11. Way Rawa Panjang
  12. Way Rawa Cokor
  13. Way Tulung Belida
  14. Way Karta
  15. Way Gunung Katun
  16. Way Malai
  17. Way Krisi
H. Wilayah Kekuasaan Penyimbang Punggawa Komering:
  1. Way Komering
  2. Beserta anak sungainya
Falsafah Hidup Ulun Lampung tersebut diilustrasikan dengan lima bunga penghias Sigor pada lambang Propinsi Lampung. Menurut kitab Kuntara Raja Niti, Ulun Lampung haruslah memiliki Lima Falsafah Hidup:
  1. Piil-Pusanggiri (malu melakukan pekerjaan hina menurut agama serta memiliki harga diri),
  2. Juluk-Adok (mempunyai kepribadian sesuai dengan gelar adat yang disandangnya),
  3. Nemui-Nyimah (saling mengunjungi untuk bersilaturahmi, selalu mempererat persaudaraan serta ramah menerima tamu),
  4. Nengah-Nyampur (aktif dalam pergaulan bermasyarakat dan tidak individualistis),
  5. Sakai-Sambayan (gotong-royong dan saling membantu dengan anggota masyarakat lainnya).
Tujuh Pedoman Hidup Ulun Lampung:
  1. Berani menghadapi tantangan: mak nyerai ki mak karai, mak nyedor ki mak bador.
  2. Teguh pendirian: ratong banjir mak kisir, ratong barak mak kirak.
  3. Tekun dalam meraih cita-cita: asal mak lesa tilah ya pegai, asal mak jera tilah ya kelai.
  4. Memahami anggota masyarakat yang kehendaknya tidak sama: pak huma pak sapu, pak jelma pak semapu, sepuluh pandai sebelas ngulih-ulih, sepuluh tawai sebelas milih-pilih.
  5. Hasil yang kita peroleh tergantung usaha yang kita lakukan: wat andah wat padah, repa ulah riya ulih.
  6. Mengutamakan persatuan dan kekompakan: dang langkang dang nyapang, mari pekon mak ranggang, dang pungah dang lucah, mari pekon mak belah.
  7. Arif dan bijaksana dalam memecahkan masalah: wayni dang rubok, iwani dapok.
Bangsa Lampung memiliki ragam kesenian yang kaya akan keragaman, keindahan dan keanggunan budaya. Tarian yang dibawakan oleh Muli Meghanai Lampung memiliki ciri khas gerak serta langgam tersendiri. Tarian klasik yang diselenggarakan pada saat upacara kerajaan adalah suatu bentuk tarian yang dikenal dengan nama Tarakot Kataki atau Lalayang Kasiwan yang masing masing diperagakan oleh dua belas Meghanai secara bersama sama sebagian memegang kipas dan sebagian lagi tidak memegang kipas.
Ragam tarian lain adalah Tari Tanggai yang ditampilkan oleh satu, dua, atau empat orang Muli yang masing masing memegang kipas. Didalam membawakan Tari Tanggai para Muli ini menggunakan aksesoris berupa kuku kuku panjang yang terbuat dari perak yang dipasang diujung jari para penari. Tari tersebut diiringi oleh irama Gamulan/Kulintang dengan ditingkahi para Meghanai yang membawakan bait tertentu yang dinamakan Ngadidang.
Dalam sepuluh hari di dalam bulan Syawal diadakan Sekuraan yaitu Festival Topeng yang diselenggarakan sebagai ungkapan suka cita setelah sebulan penuh berpuasa dan mendapatkan Hari Kemenangan. Sekuraan ini diadakan dibeberapa Pekon di Sekala Brak dengan berbagai suguhan Kesenian seperti Silek, Muwayak, Hadra, dan Nyambai oleh para Sekura.
Ada dua tipe Sekura yaitu Sekura Helau yang melambangkan kebajikan dan kebijaksanaan dan Sekura Kamak yang melambangkan Ketamakan dan Keangkaramurkaan. Sekura Helau mengenakan kostum yang indah dan bagus seperti bawahan yang mengenakan kain yang bermotifkan Tapis dan atasan yang mengenakan Kain Panjang, sedangkan Sekura Kamak mengenakan Topeng yang menyeramkan dan kostum yang kebanyakan berwarna hitam hitam.
Setiap sehari sebelum Idul Fitri dan Idul Adha ada tradisi Ngelemang pada Paksi Paksi di Sekala Brak terutama di Paksi Buay Bejalan Di Way, ada beberapa jenis Lemang seperti Lemang Siwok yang terbuat dari ketan, Lemang Bungking yang terbuat dari ketan–pisang, dan Lemang Ceghughut yang terbuat dari ketan–gula merah. Tradisi ini sebenarnya adalah tradisi lanjutan seperti yang berlaku di daerah Minangkabau.
Bangsa Lampung dikenal memiliki kain tenun yang indah dan anggun yang dikenal dengan Kain Tapis. Tapis adalah kain yang agung dan sakral yang pada mulanya hanya dikenakan oleh Para Saibatin dan keluarganya saja terutama dikenakan dalam Gawi dan Upacara adat. Namun dalam perkembangannya Kain Tapis telah diproduksi secara massal sehingga setiap khalayak dapat berkesempatan untuk memiliki dan mengenakannya.
Saat ini Kain Tapis telah dikomersialkan dan memiliki nilai ekonomi yang tinggi dan telah melanglangbuana hingga ke mancanegara. Kini Kain Tapis telah mengalami perkembangannya hingga semakin variatif dengan berbagai macam bentuk dan telah merambah dunia fasion seperti pakaian dan aksesoris aksesoris yang bermotifkan Tapis.

SUKU LAMPUNG

Etnis Lampung yang biasa disebut Ulun Lampung [Orang Lampung] secara tradisional geografis adalah suku yang menempati seluruh provinsi Lampung dan sebagian provinsi Sumatera Selatan bagian selatan dan tengah yang menempati daerah Martapura, Muaradua di Komering Ulu, Kayu Agung, Tanjung Raja di Komering Ilir, Merpas di sebelah selatan Bengkulu serta Cikoneng di pantai barat Banten.

Asal usul

Asal-usul Ulun Lampung erat kaitannya dengan istilah Lampung sendiri. Kata Lampung sendiri berasal dari kata "anjak lambung" yang berarti berasal dari ketinggian ini karena para puyang Bangsa Lampung pertama kali bermukim menempati dataran tinggi Sekala Brak di lereng Gunung Pesagi. Sebagaimana I Tsing yang pernah mengunjungi Sekala Brak setelah kunjungannya dari Sriwijaya dan dia menyebut To-Langpohwang bagi penghuni Negeri ini. Dalam bahasa hokkian, dialek yang dipertuturkan oleh I Tsing To-Langpohwang berarti orang atas dan seperti diketahui Pesagi dan dataran tinggi Sekala brak adalah puncak tertinggi ditanah Lampung.
Prof Hilman Hadikusuma di dalam bukunya (Adat Istiadat Lampung:1983) menyatakan bahwa generasi awal Ulun Lampung berasal dari Sekala Brak, di kaki Gunung Pesagi, Lampung Barat. Penduduknya dihuni oleh Buay Tumi yang dipimpin oleh seorang wanita bernama Ratu Sekerummong. Negeri ini menganut kepercayaan dinamisme, yang dipengaruhi ajaran Hindu Bairawa.
Buay Tumi kemudian dapat dipengaruhi empat orang pembawa Islam yang berasal dari Pagaruyung, Sumatera Barat yang datang ke sana. Mereka adalah Umpu Bejalan diWay, Umpu Nyerupa, Umpu Pernong dan Umpu Belunguh. Keempat Umpu inilah yang merupakan cikal bakal Paksi Pak Sekala Brak sebagaimana diungkap naskah kuno Kuntara Raja Niti. Namun dalam versi buku Kuntara Raja Niti, nama puyang itu adalah Inder Gajah, Pak Lang, Sikin, Belunguh, dan Indarwati. Berdasarkan Kuntara Raja Niti, Prof Hilman Hadikusuma menyusun hipotesis keturunan Ulun Lampung sebagai berikut:
  • Inder Gajah
Gelar: Umpu Lapah di Way
Kedudukan: Puncak Dalom, Balik Bukit
Keturunan: Orang Abung
  • Pak Lang
Gelar: Umpu Pernong
Kedudukan: Hanibung, Batu Brak
Keturunan: Orang Pubian
  • Sikin
Gelar: Umpu Nyerupa
Kedudukan: Tampak Siring, Sukau
Keturunan: Jelma Daya
  • Belunguh
Gelar: Umpu Belunguh
Kedudukan: Kenali, Belalau
Keturunan: Peminggir
  • Indarwati
Gelar: Puteri Bulan
Kedudukan: Cenggiring, Batu Brak
Keturunan: Tulang Bawang

Adat-istiadat

Pada dasarnya jurai Ulun Lampung adalah berasal dari Sekala Brak, namun dalam perkembangannya, secara umum masyarakat adat Lampung terbagi dua yaitu masyarakat adat Lampung Saibatin dan masyarakat adat Lampung Pepadun. Masyarakat Adat Saibatin kental dengan nilai aristokrasinya, sedangkan Masyarakat adat Pepadun yang baru berkembang belakangan kemudian setelah seba yang dilakukan oleh orang abung ke banten lebih berkembang dengan nilai nilai demokrasinya yang berbeda dengan nilai nilai Aristokrasi yang masih dipegang teguh oleh Masyarakat Adat Saibatin.

Masyarakat adat Lampung Saibatin

Masyarakat Adat Lampung Saibatin mendiami wilayah adat: Labuhan Maringgai, Pugung, Jabung, Way Jepara, Kalianda, Raja Basa, Teluk Betung, Padang Cermin, Cukuh Balak, Way Lima, Talang Padang, Kota Agung, Semaka, Suoh, Sekincau, Batu Brak, Belalau, Liwa, Pesisir Krui, Ranau, Martapura, Muara Dua, Kayu Agung, empat kota ini ada di Propinsi Sumatera Selatan, Cikoneng di Pantai Banten dan bahkan Merpas di Selatan Bengkulu. Masyarakat Adat Saibatin seringkali juga dinamakan Lampung Pesisir karena sebagian besar berdomisili di sepanjang pantai timur, selatan dan barat lampung, masing masing terdiri dari:
  • Paksi Pak Sekala Brak (Lampung Barat)
  • Keratuan Melinting (Lampung Timur)
  • Keratuan Darah Putih (Lampung Selatan)
  • Keratuan Semaka (Tanggamus)
  • Keratuan Komering (Provinsi Sumatera Selatan)
  • Cikoneng Pak Pekon (Provinsi Banten)

Masyarakat adat Lampung Pepadun

Masyarakat beradat Pepadun/Pedalaman terdiri dari:
  • Abung Siwo Mego (Unyai, Unyi, Subing, Uban, Anak Tuha, Kunang, Beliyuk, Selagai, Nyerupa). Masyarakat Abung mendiami tujuh wilayah adat: Kotabumi, Seputih Timur, Sukadana, Labuhan Maringgai, Jabung, Gunung Sugih, dan Terbanggi.
  • Mego Pak Tulangbawang (Puyang Umpu, Puyang Bulan, Puyang Aji, Puyang Tegamoan). Masyarakat Tulangbawang mendiami empat wilayah adat: Menggala, Mesuji, Panaragan, dan Wiralaga.
  • Pubian Telu Suku (Minak Patih Tuha atau Suku Manyarakat, Minak Demang Lanca atau Suku Tambapupus, Minak Handak Hulu atau Suku Bukujadi). Masyarakat Pubian mendiami delapan wilayah adat: Tanjungkarang, Balau, Bukujadi, Tegineneng, Seputih Barat, Padang Ratu, Gedungtataan, dan Pugung.
  • Sungkay-WayKanan Buay Lima (Pemuka, Bahuga, Semenguk, Baradatu, Barasakti, yaitu lima keturunan Raja Tijang Jungur). Masyarakat Sungkay-WayKanan mendiami sembilan wilayah adat: Negeri Besar, Ketapang, Pakuan Ratu, Sungkay, Bunga Mayang, Blambangan Umpu, Baradatu, Bahuga, dan Kasui.

Marga Lampung
Lampung mengenal marga-marga yang mulanya bersifat geneologis-territorial. Tapi, tahun 1928, pemerintah Belanda menetapkan perubahan marga-marga geneologi-teritorial menjadi marga-marga teritorial-genealogis, dengan penentuan batas-batas daerah masing-masing.
Setiap marga dipimpin oleh seorang kepala marga atas dasar pemilihan oleh dan dari punyimbang-punyimbang yang bersangkutan. Demikian pula, kepala-kepala kampung ditetapkan berdasarkan hasil pemilihan oleh dan dari para punyimbang.
Di seluruh keresidenan Lampung, terdapat marga-marga teritorial sebagai berikut:
No. Nama Marga Kecamatan sekarang Beradat Berbahasa(Dialek)
1. Melinting Labuhan Maringgai Peminggir Melinting A (api)
2. Jabung Jabung idem idem
3. Sekampung idem idem idem
4. Ratu Dataran Ratu Peminggir Darah Putih idem
5. Dataran idem idem idem
6. Pesisir Kalianda idem idem
7. Rajabasa idem idem idem
8. Ketibung Way Ketibung idem idem
9. Telukbetung Telukbetung Peminggir Teluk idem
10. Sabu Mananga Padangcermin idem idem
11. Ratai idem idem idem
12. Punduh idem idem idem
13. Pedada idem idem idem
14. Badak Cukuhbalak Peminggir Pemanggilan (Semaka) idem
15. Putih Doh idem idem idem
16. Limau Doh idem idem idem
17. Kelumbayan idem idem idem
18. Pertiwi idem idem idem
19. Limau Talangpadang idem idem
20. Gunungalip idem idem idem
21. Putih Kedondong idem idem
22. Beluguh Kotaagung idem idem
23. Benawang idem idem idem
24. Pematang Sawah idem idem idem
25. Ngarip Semuong Wonosobo idem idem
26. Buay Nunyai (Abung) Kotabumi Pepadun O (nyou)
27. Buay Unyi Gunungsugih idem idem
28. Buay Subing Terbanggi idem idem
29. Buay Nuban Sukadana idem idem
30. Buay Beliyuk Terbanggi idem idem
31. BuayNyerupa Gunungsugih idem idem
32. Selagai Abung Barat idem idem
33. Anak Tuha Padangratu idem idem
34. Sukadana Sukadana idem idem
35. Subing Labuan Labuan Maringgai idem idem
36. Unyi Way Seputih Seputihbanyak idem idem
37. Gedongwani Sukadana idem idem
38. Buay Bolan Udik Karta (Tulangbawang Udik) Pepadun (Megou-pak) idem
39. Buay Bolan Menggala idem idem
40. Buay Tegamoan Tulangbawang Tengah idem idem
41. Buay Aji Tulangbawang Tengah idem idem
42. Buay Umpu Tulangbawang Tengah idem idem
43. Buay Pemuka Bangsa Raja Negeri Besar Pepadun A (api)
44. Buay Pemuka Pangeran Ilir Pakuonratu idem idem
45. Buay Pemuka Pangeran Udik Pakuonratu idem idem
46. Buay Pemuka Pangeran Tuha Belambangan Umpu idem idem
47. Buay Bahuga Bahuga (Bumiagung) idem idem
48. Buay Semenguk Belambangan Umpu idem idem
49. Buay Baradatu Baradatu idem idem
50. Bungamayang Negararatu Pepadun (Sungkai) idem
51. Balau Kedaton idem idem
52. Merak-Batin Natar idem idem
53. Pugung Pagelaran idem idem
54. Pubian (Nuat) Padangratu idem idem
55. Tegineneng Tegineneng idem idem
56. Way Semah Gedongtataan idem idem
57. Rebang Pugung Talangpadang Semende Sumatera Selatan
58. Rebang Kasui Kasui idem idem
59. Rebang Seputih Tanjungraya idem idem
60. Way Tube Bahuga Ogan idem
61. Mesuji Wiralaga Pegagan idem
62. Buay Belunguh Belalau Peminggir (Belalau) A (api)
63. Buay Kenyangan Batubrak idem idem
64. Kembahang Batubrak idem idem
65. Sukau Sukau idem idem
66. Liwa Balik Bukit Liwa idem idem
67. Suoh Suoh idem idem
68. Way Sindi Karya Penggawa idem idem
69. La'ai Karya Penggawa idem idem
70. Bandar Karya Penggawa idem idem
71. Pedada Pesisir Tengah idem idem
72. Ulu Krui Pesisir Tengah idem idem
73. Pasar Krui Pesisir Tengah idem idem
74. Way Napal Pesisir Selatan idem idem
75. Tenumbang Pesisir Selatan idem idem
76. Ngambur Bengkunat idem idem
77. Ngaras Bengkunat idem idem
78. Bengkunat Bengkunat idem idem
79. Belimbing Bengkunat idem idem
80. Pugung Penengahan Pesisir Utara idem idem
81. Pugung Melaya Lemong idem idem
82. Pugung Tampak- Pesisir Utara idem idem
83. Pulau Pisang Pesisir Utara idem idem
84. Way Tenong Way Tenong Semendo Sumatera Selatan

Susunan marga-marga territorial yang berdasarkan keturunan kerabat tersebut, pada masa kekuasaan Jepang sampai masa kemerdekaan pada tahun 1952 dihapus dan dijadikan bentuk pemerintahan negeri. Sejak tahun 1970, nampak susunan negeri sebagai persiapan persiapan pemerintahan daerah tingkat III tidak lagi diaktifkan, sehingga sekarang kecamatan langsung mengurus pekon-pekon/kampung/desa sebagai bawahannya.
 

Sejarah Lampung

Sejarah Provinsi Lampung
Lampung baru menjadi provinsi tahun 1964 dengan dasarnya Undang-Undang nomor 14 tahun 1964. Sebelumnya Lampung merupakan bagian dari provinsi Sumatera Selatan. Provinsi Sumatera Selatan sendiri terbentuk tanggal 12 September 1950 dan merupakan pecahan dari Provinsi Sumatera. Di awal kemerdekaan, pulau Sumatera tergabung dalam satu provinsi, yaitu, Provinsi Sumatera. Lampung adalah salah satu keresidenan di provinsi tersebut dengan residennya adalah Mr. Abbas.

Pada abad 16, Lampung dikenal sebagai penghasil lada hitam. Produk tersebut dipasarkan di Banten dan banyak dijual ke pedagang Eropa dan Asia. Tentu saja harga di Banten jauh lebih tinggi dari harga di Lampung sendiri. Setelah mengetahui perbedaan harga tersebut, pedagang Eropa, khususnya Belanda yang ketika itu masih diwakil oleh armada dagangnya, yaitu, VOC, sangat berkeinginan untuk mendapatkan lada hitam langsung dari daerah penghasil.

Namun VOC belum berani melakukan ekspansi ke Lampung karena masih berhitung terhadap kekuatan Banten. Ketika itu Lampung menjalin hubungan akrab dengan Banten, sehingga kalau VOC menyerang Lampung, kemungkinan besar Banten akan membelanya. Hubungan Lampung dan Banten semakin erat pada waktu Banten di bawah kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa.

VOC berkeyakinan bahwa untuk menguasai Lampung, terlebih dahulu harus menundukan Banten. Oleh karena itu, ketika di Kesultanan Banten terjadi perselisihan antara Sultan Ageng Tirtayasa dengan putranya, yaitu, Sultan Haji, VOC memanfaatkannya dengan mendukung Sultan Haji. Akhirnya Sultan Ageng Tirtayasa dapat dikalahkan dan kemudian VOC menobatkan Sultan Haji sebagai penguasa Banten. Namun dia hanyalah penguasa boneka. Kekuasaan riil telah berada di tangan VOC.

Pada tanggal 24 Juli 1692, Sultan Haji memberikan hak monopoli perdagangan lada di Lampung kepada VOC. Namun expedisi pertama Belanda ke Lampung ini, tidak begitu lancar karena masih banyaknya penguasa Lampung yang loyal kepada Sultan Ageng Tirtayasa dan menganggap VOC sebagai musuh.. Akhirnya VOC tidak segera mewujudkan ambisinya untuk menguasai Lampung, bahkan sampai VOC dibubarkan lampung belum dikuasai sepenuhnya.

Pada tahun 1807, Belanda memproklamasikan bahwa Kepulauan Nusantara adalah bagian dari Kerajaan Belanda. Pada tanggal 22 November 1808, Lampung dinyatakan sebagai daerah yang langsung di bawah gubernur jenderal Belanda, tidak terikat lagi kepada Banten. Herman Wilhelm Daendles, Gubernur Jenderal Belanda ketika itu, mengakui penguasa Lampung, yaitu, Raden Intan I, sebagai Ratu atau Kurnel.

Ketika tahun 1811 Indonesia dijajah Inggris, pengaturan Lampung kembali di bawah Keresidenan Banten. Setelah kekuasaan beralih kembali ke tangan Belanda, Lampung tetap berada di bawah Banten dan ditempatkan seorang Asisten Residen, kedudukannya berada dibawah Residen Banten.

Raden Intan I, yang sebelumnya dekat dengan Belanda, pada kekuasaan Belanda kedua ini tidak berusaha dengan Belanda bahkan pada akhirnya melakukan konfrontasi. Perlawanan Raden Intan I berlangsung sampai dia wafat pada tahuan 1828. Perjuangan melawan Belanda dilanjutkan oleh putranya, yaitu, Raden Intan II.

Pada tahun 1856, Belanda mengirim pasukan besar untuk menghancurkan perlawanan Raden Intan II. Sasaran serangan Belanda yang pertama adalah Benteng Bendulu. Setelah melalui pertempuran sengit, Bendulu dapat dikuasai dan kemudian dijadikan basis pasukan Belanda untuk menggempur  benteng-benteng lainnya. Perlawanan Raden Intan II berakhir tanggal 5 Oktober 1856. Ketika itu Raden Intan II dijebak untuk hadir dalam pertemuan yang sudah direkayasa Belanda.

Setelah gugurnya Raden Intan II, perlawanan terhadap Belanda tidak lagi besar-besaran. Bahkan dapat dikatakan bahwa sejak saat itu, Belanda menguasai Lampung secara penuh. Belanda kemudian memusatkan perhatian pada pengembangan berbagai perkebunan disertai sarana dan prasarananya.

Pada awal kemerdekaan, para pejuang di Lampung segera membentuk Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) dan Pasukan Keamanan Rakyat. Pada tanggal 9 September 1946, karena tidak mampu menstabilkan kondisi di Lampung, sebuah badan yang dikenal dengan nama Panitia Perbaikan Masyarakat (PPM) memaksa Mr. Abbas melepaskan jabatannya. Desakan ini berhasil menurunkan Mr. Abbas dan posisinya digantikan oleh Dr. Barel Munir sampai tanggal 29 November 1947. Setelah itu, posisi residen dijabat oleh Rukadi.

Karena adanya serangan Belanda yang ingin kembali menguasai Lampung. Pemerintahan Keresidenan Lampung terpaksa berpindah-pindah. Residen Lampung kemudian digantikan oleh Kepala pemerintahan Darurat Keresidenan Lampung yang dijabat oleh Mr. Gele Harun. Setelah digelar Konferensi Meja Bundar (KMB), Lampung terbebas dari cengkraman Belanda.

Status Lampung mengalami peningkatan dari keresidenan menjadi provinsi pada tahun 1964. Gubernur Lampung yang pertama dijabat oleh Kusno Danu Upoyo. Posisinya kemudian digantikan oleh Zainal Abidin Pagar Alam pada tahun 1967. Pada pemerintahan Zainal Abidin ini dimulai Pembangunan Lima Tahun (Pelita) I, yaitu, sejak 1 April 1969. 

Letak dan Kondisi Alam
Provinsi Lampung memiliki luas 35.376,50 km² dan terletak di antara 105°45'-103°48' BT dan 3°45'-6°45' LS. Daerah ini di sebelah barat berbatasan dengan Selat Sunda dan di sebelah timur dengan Laut Jawa. Beberapa pulau termasuk dalam wilayah Provinsi Lampung, yang sebagian besar terletak di Teluk Lampung, di antaranya: Pulau Darot, Pulau Legundi, Pulau Tegal, Pulau Sebuku, Pulau Ketagian, Pulau Sebesi, Pulau Poahawang, Pulau Krakatau, Pulau Putus dan Pulau Tabuan. Ada juga Pulau Tampang dan Pulau Pisang di yang masuk ke wilayah Kabupaten Lampung Barat.

Keadaan alam Lampung, di sebelah barat dan selatan, di sepanjang pantai merupakan daerah yang berbukit-bukit sebagai sambungan dari jalur Bukit Barisan di Pulau Sumatera. Di tengah-tengah merupakan dataran rendah. Sedangkan ke dekat pantai di sebelah timur, di sepanjang tepi Laut Jawa terus ke utara, merupakan perairan yang luas.

Gunung

Gunung-gunung yang puncaknya cukup tinggi, antara lain:

 

Sungai

Sungai-sungai yang mengalir di daerah Lampung menurut panjang dan cathment area (c.a)-nya adalah:
Way Sekampung mengalir di daerah kabupaten Tanggamus dan Lampung Selatan. Anak sungainya banyak, tetapi tidak ada yang panjangnya sampai 100 km. Hanya ada satu sungai yang panjangnya 51 km dengan c.a. 106,97 km2 ialah Way Ketibung di Kalianda.

Way Seputih mengalir di daerah kabupaten Lampung Tengah dengan anak-anak sungai yang panjangnya lebih dari 50 km adalah:
Way Tulangbawang mengalir di kabupaten Tulangbawang dengan anak-anak sungai yang lebih dari 50 km panjangnya, di antaranya:
Way Mesuji yang mengalir di perbatasan provinsi Lampung dan Sumatera Selatan di sebelah utara mempunyai anak sungai bernama Sungai Buaya, sepanjang 70 km dengan c.a. 347,5 km2.

Hutan-hutan besar di dataran rendah dapat dikatakan sudah habis dimanfaatkan untuk keepentingan pembangunan pertanian, untuk para transmigran yang terus-menerus memasuki daerah ini. Kayu-kayu hasil hutan diekspor ke luar negeri. Hutan-hutan yang masih ada, yang tanahnya dapat dikatakan belum banyak dibuka sebagian besar terletak di sebelah barat, di daerah Bukit Barisan Selatan.

Beberapa kota di daerah provinsi Lampung yang tingginya 50 m lebih dari permukaan laut adalah: Tanjungkarang (96 m), Kedaton (100 m), Metro (53), Gisting (480 m), Negerisakti (100 m), Pringsewu (50 m), Pekalongan (50 m), Batanghari (65 m), Punggur (50 m), Padangratu (56 m), Wonosobo (50 m), Kedondong (80 m), Sidomulyo (75 m), Kasui (200 m), Sri Menanti (320 m) dan Kota Liwa (850 m).


Kabupaten dan Kota

No. Kabupaten/Kota Ibu kota
1 Kabupaten Lampung Barat Kota Liwa
2 Kabupaten Lampung Selatan Kalianda (kota)
3 Kabupaten Lampung Tengah Gunung Sugih
4 Kabupaten Lampung Timur Sukadana
5 Kabupaten Lampung Utara Kotabumi
6 Kabupaten Mesuji -
7 Kabupaten Pesawaran Gedong Tataan
8 Kabupaten Pringsewu Pringsewu
9 Kabupaten Tanggamus Kota Agung
10 Kabupaten Tulang Bawang Menggala
11 Kabupaten Tulang Bawang Barat Tulang Bawang Tengah
12 Kabupaten Way Kanan Blambangan Umpu
13 Kota Bandar Lampung -
14 Kota Metro -


Busana Adat

Daerah Lampung dikenal sebagai penghasil kain tapis, kain tenun bersulam benang emas yang indah. Kain ini dibuat oleh wanita. Pada penyelenggaraan upacara adat, seperti perkawinan, tapis yang dipenuhi sulaman benang emas dengan motif yang indah merupakan kelengkapan busana adat daerah Lampung.

Dalam keseharian laki-laki Lampung mengikat kepalanya dengan kikat. Bahannya dari kain batik. Bila dipakai dalam kerapatan adat dipadukan dengan baju teluk belanga dan kain. Lelaki muda Lampung lebih menyukai memakai kepiah/ketupung, yaitu tutup kepala berbentuk segi empat berwarna hitam terbuat dari kain tebal, apalagi kalau ingin bertemu dengan gadis. Untuk mengiring pengantin dikenakan kekat akkin, yaitu destar dengan bagian tepi dihias bunga-bunga dari benang emas dan bagian tengah berhiaskan siger, serta di salah satu sudutnya terdapat sulaman benang emas berupa bunga tanjung dan bunga cengkeh.

Sebagai penutup badan dikenakan kawai, yaitu baju berbentuk teluk belanga belah buluh atau jas. Baju ini terbuat dari bahan kain tetoron atau belacu dan lebih disukai yang berwarna terang. Tetapi sekarang banyak digunakan kawai kemija, yaitu bentuk kemeja seperti pakaian sekolah atau moderen. Pemakaian kawai kemija ini sudah biasa untuk menyertai kain dan peci, ketika menghadiri upacara adat sekalipun. Bagian bawah mengenakan senjang, yaitu kain yang dibuat dari kain Samarinda. Bugis atau batik Jawa. Tetapi sekarang telah dikenal adanya celanou (celana) pendek dan panjang sebagai penganti kain.

Kaum wanita Lampung sehari-hari memakai kanduk/kakambut atau kudung sebagai penutup kepala yang dililitkan. Bahannya dari kain halus tipis atau sutera. Selain itu, kaum ibu kadangkadang menggunakannya sebagai kain pengendong anak kecil.

Lawai kurung digunakan sebagai penutup badan, memiliki bentuk seperti baju kurung. Baju ini terbuat dari bahan tipis atau sutra dan pada tepi muka serta lengan biasa dihiasi rajutan renda halus. Sebagai kain dikenakan senjang atau cawol. Untuk mempererat ikatan kain (senjang) dan celana di pinggang laki-laki digunakan bebet (ikat pinggang), sedangkan wanitanya menggunakan setagen. Perlengkapan lain yang dikenakan oleh laki-laki Lampung adalah selikap, yaitu kain selendang yang dipakai untuk penahan panas atau dingin yang dililitkan di leher. Pada waktu mandi di sungai, kain ini dipakai sebagai kain basahan. Selikap yang terbuat dari kain yang mahal dipakai saat menghadiri upacara adat dan untuk melakukan ibadah ke masjid.

Untuk menghadiri upacara adat, seperti perkawinan kaum wanita, baik yang gadis maupun yang sudah kawin, menyanggul rambutnya (belatung buwok). Cara menyanggul seperti ini memerlukan rambut tambahan untuk melilit rambut ash dengan bantuan rajutan benang hitam halus. Kemudian rajutan tadi ditusuk dengan bunga kawat yang dapat bergerak-gerak (kembang goyang).

Khusus bagi wanita yang baru menikah, pada saat menghadiri upacara perkawinan mengenakan kawai/kebayou (kebaya) beludru warna hitam dengan hiasan rekatan atau sulaman benang emas pada ujung-ujung kebaya dan bagian punggungnya. Dikenakan senjang/ cawol yang penuhi hiasan terbuat dari bahan tenun bertatah sulam benang emas, yang dikenal sebagai kain tapis atau kain Lampung. Sulaman benang emas ada yang dibuat berselang-seling, tetapi ada yang disulam hampir di seluruh kain.

Para ibu muda dan pengantin baru dalam menghadiri upacara adat mengenakan kain tapis bermotif dasar bergaris dari bahan katun bersulam benang emas dan kepingan kaca. Di bahunya tersampir tuguk jung sarat, yaitu selendang sutra bersulam benang emas dengan motif tumpal dan bunga tanjung. Selain itu, juga dapat dikenakan selekap balak, yaitu selendang sutra disulam dengan emas dengan motif pucuk rebung, di tengahnya bermotifkan siger yang di kelilingi bunga tanjung, bunga cengkeh dan hiasan berupa ayam jantan.

Untuk memperindah dirinya dipergunakan berbagai asesoris terbuat dari emas. Selambok/rattai galah, yaitu kalung leher (monte) berangkai kecil-kecil dilengkapi dengan leontin dari batu permata yang ikat dengan emas. Kelai pungew, yaitu gelang yang dipakai di lengan kanan atau kiri, biasanya memiliki bentuk seperti badan ular (kalai ulai). Pada jari tengah atau manis diberi cincin (alali) dari emas, perak atau suasa diberi mata dari permata. Dikenakan pula kalai kukut, yaitu gelang kaki yang biasanya berbentuk badan ular melingkar serta dapat dirangkaikan. Kalai kukut ini dipakai sebagai perlengkapan pakaian masyarakat yang hidup di desa, kecuali saat pergi ke ladang.

Pakaian mewah dipenuhi dengan warna kuning keemasan dapat dijumpai pada busana yang dikenakan pengantin daerah Lampung. Mulai dari kepala sampai ke kaki terlihat warna kuning emas.

Di kepala mempelai wanita bertengger siger, yaitu mahkota berbentuk seperti tanduk dari lempengan kuningan yang ditatah hias bertitik-titik rangkaian bunga. Siger ini berlekuk ruji tajam berjumlah sembilan lekukan di depan dan di belakang (siger tarub), yang setiap lekukannya diberi hiasan bunga cemara dari kuningan (beringin tumbuh). Puncak siger diberi hiasan serenja bulan, yaitu kembang hias berupa mahkota berjumlah satu sampai tiga buah. Mahkota kecil ini mempunyai lengkungan di bagian bawah dan beruji tajam-tajam pada bagian atas serta berhiaskan bunga. Pada umumnya terbuat dari bahan kuningan yang ditatah.

Badan mempelai dibungkus dengan sesapur, yaitu baju kurung bewarna putih atau baju yang tidak berangkai pada sisinya dan di tepi bagian bawah berhias uang perak yang digantungkan berangkai (rambai ringgit). Sebagai kainnya dikenakan kain tapis dewo sanow (kain tapis dewasana) dipakai oleh wanita pada waktu upacara besar (begawi) dari bahan katun bersulam emas dengan motif tumpal atau pucuk rebung. Kain ini dibuat beralaskan benang emas, hingga tidak nampak kain dasarnya. Bila kain dasarnya masih nampak disebut jung sarat. Jenis tapis dewasana merupakan hasil tenunan sendiri, yang sekarang sangat jarang dibuat lagi.

Pinggang mempelai wanita dilingkari bulu serti, yaitu ikat pinggang yang terbuat dari kain beludru berlapis kain merah. Bagian atas ikat pinggang ini dijaitkan kuningan yang digunting berbentuk bulat dan bertahtakan hiasan berupa bulatan kecil-kecil. Di bawah bulu serti dikenakan pending, yaitu ikat pinggang dari uang ringgitan Belanda dengan gambar ratu Wihelmina di bagian atas.
Pada bagian dada tergantung mulan temanggal, yaitu hiasan dari kuningan berbentuk seperti tanduk tanpa motif, hanya bertatah dasar. Kemudian dinar, yaitu uang Arab dari emas diberi peniti digantungkan pada sesapur, tepatnya di bagian atas perut. Dikenakan pula buah jukum, yaitu hiasan berbentuk buah-buah kecil di atas kain yang dirangkai menjadi untaian bunga dengan benang dijadikan kalung panjang. Biasanya kalung ini dipakai melingkar mulai dari bahu ke bagian perut sampai ke belakang.

Gelang burung, yaitu hiasan dari kuningan berbentuk burung bersayap yang diikatkan pada lengan kiri dan kanan, tepatnya di bawah bahu. Di atasnya direkatkan bebe, yaitu sulaman kain halus yang berlubang-lubang. Sementara gelang kana, terbuat dari kuningan berukir dan gelang Arab, yang memiliki bentuk sedikit berbeda, dikenakan bersama-sama di lengan atas dan bawah.

Mempelai laki-laki mengenakan kopiyah mas sebagai mahkota. Bentuknya bulat ke atas dengan ujung beruji tajam. Bahannya dari kuningan bertahtakan hiasan karangan bunga. Badannya ditutup dengan sesapur warna putih berlengan panjang. Dipakai celanou (celana) panjang dengan warna sama dengan warna baju.

Pada pinggang dibalutkan tapis bersulam benang emas penuh diikat dengan pending. Bagian dada dilibatkan membentuk silang limar, yaitu selendang dari sutra disulam benang emas penuh. Lengan dihias dengan gelang burung dan gelang kana. Perlengkapan lain yang menghiasi badan sama seperti yang dikenakan oleh mempelai wanita. Kaki kedua mempelai dibungkus dengan selop beludru warna hitam.