Selasa, 03 Januari 2012

Bobroknya Peradilan Anak Di Indonesia


Belum lama ini muncul permasalahan di Peradilan Indonesia, yaitu di peradilan Pidananya tentang kasus Anak yang dibawah umur yang dituduh mencuri Sandal, ketika kasus tersebut di hadapkan ke depan pengadilan, maka yang terjadi bukannya dukungan masyarakat yang ada di Indonesia ini dengan tindakan penegak hukum yang memproses tentang kasus tersebut akan tetapi justru adalah caci maki terhadap lembaga-lembaga yang melaksanakan proses dari perkara anak yang telah dituduh atau menjadi tersangka kasus pencurian yang melanggar pasal 362 KUHP indonesia.“Barangsiapa mengambil barang secara menyeluruh atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak sembilan ratus rupiah”.
Pencurian” SANDAL” yang dilakukan oleh AAL, siswa SMK Negeri 3 Kota Palu, Sulawesi Tengah, pada November 2010 mencuri sandal di Jalan Zebra di depan tempat kos Briptu Ahmad Rusdi yang diproses dan dikenakan pidana 5 tahun penjara potong tahanan sehingga kurang dari 5 tahun menjadi lebih dari satu tahun setengah merupakan suatu yang sangat keliru sekali di dalam proses peradilan di indonesia sekarang ini. Jika persoalan pencurian tersebut diproses sesuai dengan ketentuan hukum materilnya atau KUHPnya atas perbuatanya maka tidak bisa dikatakan suatu proses peradilan yang layak dan adil, karena pelaku adalah bukan orang yang memiliki profesi sebagai pencuri dan usianya masih dibawah umur didalam Hukum pidana dikatakan bisa bertanggung jawab usianya 16 dan jika dibawah 16 tahun belum bisa dikatakan bisa bertanggung jawab, dan ketentuan UU no 3 tahun 1997 tentang peradilan anak bahwa usia 18 tahun baru bisa di proses, ini tentang ketentuan normanya.
Tujuan hukuman adalah mewujudkan kehidupan yang harmonis dan stabil. Apakah mencuri sandal tidak salah? Itu tetap salah, tapi hukuman yang diberikan kepada seorang pencuri sandal harus adil, harus mengutamakan kemanusiaan, yang disebut keadilan bukanlah sebatas teks hukum yang tertera dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Hukuman yang diberikan kepada pelaku tindak pidana haruslah adil, dengan mengedepankan rasa kemanusiaan. Aparat penegak hukum seperti hakim, jaksa, dan polisi, harus bisa menggunakan nuraninya dalam melakukan tindakan hokum, tidak bisa hanya mengandalkan landasan-landasan hukum formil semata. Penanganan secara serius penegak hukum dalam kasus sandal jepit merobek dan mengoyak rasa keadilan bagi anak-anak. Untuk kasus-kasus pidana yang melibatkan anak seharusnya ditangani secara khusus dan mengedepankan pembinaan ketimbang harus melalui proses hukum.
Dalam Islam anak yang belum dewasa tidak boleh diberi sanksi seperti orang dewasa. Hukuman harus bersifat edukatif, penahanan dan proses persidangan terhadap siswa SMK tersebut dapat menimbulkan trauma dan tidak memberi pembelajaran apapun. Bagi anak di bawah  umur, ditahan dalam sel meskipun hanya 15 hari atau satu bulan itu tetap saja traumatis dan berdampak serius. Hukuman dalam Islam pun lebih mengutamakan yang mendidik. Jangan langsung main hukum pidana. Pengadilan harusnya bersikap bijak dalam menangani kasus AAL.
Kenapa system peradilan ditanah air kita ini tidak akan bisa baik dan selalu bobrok dan menyimpang karena, faktor-faktor para penegak hukumnya yang tidak paham hukum,dan tidak memiliki akhlak dan moralitas serta ethos kerjanya. Sebenarnya mulai dari proses penyelidikan sampai penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian kasus-kasus yang harus di proses bisa dilihat mana yang pantas dilanjutkan mana yang tidak padahal kepolisian telah diberikan suatu kebijakan oleh undang-undang untuk menyampingkan suatu perkara yang disebut diskresi.
Diskresi bertujuan agar benar-benar keadilan itu dilakukan demi untuk kepentingan umum yang adil dirasakan oleh masyarakat dan diskresi ini tujuan adalah untuk supaya tidak ada penumpukan perkara-perkara yang tidak pantas dilakukan proses peradilan agar tidak menumpuk namun diskresi ini tidak pernah dijalankan oleh kepolisian atas kasus-kasus seperti pencurian sandal, coklat, permen, dan pencurian uang satu rupiah, akan tetapi diskresi yang sering dilakukan oleh kepolisian adalah kasus pejabat yang mencuri uang negara bermilyar-milyar, ini yang sangat keliru yang dilakukan oleh para penegak hukum di indonesia.
Hukum di Indonesia kembali menunjukan kebobrokannya. Kesamaan hukum dan keadilan menjadi suatu hal yang mustahil di Indonesia. Ironi kejamnya hukum pada rakyat kecil dan lemahnya hukum pada koruptor adalah sebuah fakta dan bukan isapan jempol. Hukum yang tidak adil dan bobrok ini pun membuat seseorang memilih untuk melapor kepada youtube dari pada kepolisian. Proses pelaporan yang dirumit-rumitkan dan juga tidak ada kepastian akan diproses membuat orang tidak mau melapor dan berurusan dengan kepolisian.
Lalu jika hukum tidak adil, apakah yang bisa diandalkan ketika kita mengalami kejahatan? Apakah praktik main hakim sendiri adalah jalan terbaik? Jika tidak, apakah masih ada jalan lain?
Setiap anak adalah generasi penerus bangsa yang berhak memperoleh perlindungan baik secara fisik, mental maupun sosial agar dapat tumbuh dan berkembang secara sehat dan wajar termasuk anak yang berhadapan dengan hukum. Sesuai dengan Pasal 16 Undang – Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan UU N0. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak serta Keputusan Bersama 4 Kementerian,Mahkamah Agung RI, Jaksa Agung RI dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, menyatakan penahanan/pemenjaraan terhadap anak adalah upaya terakhir, dengan mengedepankan pendekatan Keadilan Restoratif sebagai landasan penyelesaian pidana bagi anak yang berhadapan dengan hukum.
Saya berharap penegak hukum dan penegakan hukum semakin baik. Jika tidak, maka jangan salahkan jika suatu hari peristiwa diserangnya kantor polisi dan kejaksaan akan semakin sering. Hukum yang tidak adil, bukanlah hukum yang sesungguhnya.