Oleh Hadrian Setiawarga
(Pulampas91@gmail.com / hadriansetiawarga@yahoo.com)
Negara adalah sebuah wujud nyata dari sebuah komitmen dari masyarakat untuk eksis sebagai sebuah wujud kesatuan, rakyat dengan wilayahnya dan pemerintahan di depan rakyatnya, dan wilayah lain serta negara lain. Eksistensi sebuah negara terbangun dari kebersamaan rakyat dan pemerintah, dalam menjaga dan mewujudkan kehidupan masyarakat negaranya yang adil, makmur dan sejahtera. Tanpa kebersamaan tersebut maka sebagai wujud negara bisa dikatakan sudah tidak bernegara. Hal ini bisa berarti bahwa terjadi perpecahan di dalam wujud negara, bisa dari pegawai pemerintah, pegawai oknum pemerintah, rakyat ataupun negara lain dalam satu wujud negara atau dari bagian wujud negara.
Perubahan sebuah negara selain disebabkan oleh hilang dan atau bertambahnya wilayah juga bisa disebabkan oleh kekecewaan dari rakyat. Dan hal ini berbeda dengan kekecewaan pemerintah. Kekecewaan pemerintah lebih pada sebuah kebijakan sebagai wakil dari seluruh rakyat dalam sebuah negara, jadi perkataan pemerintah adalah perkataan rakyatnya. Namun disaat perkataan pemerintah sudah tidak sebagai perkataan rakyat maka yang kecewa bukan pemerintah melainkan rakyat. Dan sebaliknya disaat itu pemerintah juga merasakan kecewa karena rakyatnya tidak mau mengakuinya sebagai wakil rakyat atau penyalur lidah rakyat (mengambil istilah di orla). Salah satu cara pemerintah agar tetap menjadi penyalur lidah rakyat adalah menggunakan pegawai pemerintah berupa polisi (terkusus polisi anti huru hara) untuk meredam aksi dan kekecewaan rakyat. Rakyat yang kecewa dan marah di balas dengan kemarahan pegawai pemerintah yang digunakan oleh pemerintah dengan kemarahan pula. Dan korban berjatuhan baik dipihak rakyat maupun dipihak pegawai. Perpecahan negara seperti ini disebut dengan konflik internal negara, yang bisa terjadi antara rakyat dengan rakyat atau rakyat dengan pemerintah. Namun sebagai sebuah negara masih utuh yaitu ada kesatuan wilayah, rakyat, dan pemerintah dan tidak bisa dibilang negara terpecah. Negara akan menjadi terpecah disaat kekecewaan itu kemudian menjadi pemberontakan, artinya rakyat yang kecewa melakukan aksi kekecewaannya itu dengan tidak mengakui pemerintahan dan mendeklarasikan pemerintahan sendiri. Sehingga ada negara di dalam negara.
Dalam kehidupan bernegara di Indonesia, rakyat sebagai obyek pemerintahan dan pegawai pemerintah sebagai subyeknya. Dalam arti bahwa jalannya negara itu di kelola dan dijalankan oleh pegawai pemerintah dan sebagai penerima hasil kerja pegawai adalah rakyat. Ini adalah istilah yang langka, dalam arti bahwa bentuk kekecewaan rakyat bisa jadi berasal dari makna pemerintahan yang sudah berubah. Sehingga rakyat dijadikan subyek pelaku pemerintahan sedangkan pegawai pemerintah sebagai penikmat hasil kerja rakyat. Istilah yang terbalik ini bisa dilihat pada jaman pemerintahan Belanda di Indonesia dengan segala macam sistem yang mereka terapkan selama katanya 350 tahun, pemerintahan Jepang di Indonesia yang katanya berumur seumur jagung, 3 ½ tahun, dan jaman-jaman sesudahnya sampai saat ini yang katanya jaman setelah kemerdekaan RI menjadi NKRI atau Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pada hakikatnya arti sebuah negara adalah terbentuk karena memiliki wilayah, memiliki pemerintahan, dan memiliki rakyat yang bertekat untuk menjadi negara dan mendapatkan pengakuan dari negara lain dan dunia internasional. Pemerintahan dari sebuah negara merupakan pengemban amanah untuk menjalankan pemerintahan dari tingkat rendah sampai tingkat negara. Kekuasaan pemerintahan yang dimiliki digunakan semaksimal-maksimalnya untuk mensejahterakan rakyat. Pada zaman kolonial pemerintahan banyak menyengsarakan rakyat sehingga pemerintah membentuk badan polisi untuk mengendalikan rakyat yang bergejolak. Dan ternyata sampai saat ini polisi masih dipertahankan padahal dalam sejarah bangsa ini, rakyat adalah yang menjadi pemilik negara ini. Dan telah konsisten untuk menjadikan negara ini berdasarkan hukum bahkan untuk bisa didasarkan atas agama. Sehingga kesalahan dari semua anggota negara termasuk pemimpin bisa dihadapkan kepada institusi hukum atau didepan hukum agama. Dan hal ini terhalang oleh adanya polisi yang tidak memiliki hak untuk menjatuhkan hukuman dan penyelidikan, namun semua adalah dikembalikan kepada hukum di pengadilan berdasarkan saksi. Tanpa ada olah TKP, rekayasa, dan salah tangkap.
Dulu polisi banyak ditugaskan untuk menjaga obyek-obyek negara dan pemimpin negara, agar terhindar dari serangan kolonial dan pemberontak. Dan adanya polisi sekarang juga tidak lepas dari tugas itu. Dan rakyat dijadikan obyek sebagai yang dicurigai akan mengadakan pemberontakan dan pembangkangan kepada pemimpin-pemimpin negara. Sekarang polisi mengatakan sendiri repot jika menjaga pemimpin, padahal pemimpin sekarang tidak ingin dijaga karena ingin dekat dengan rakyat. Kenapa mempertahankan polisi?
Sungguh miris mengikuti kerja polisi yang tersiar dari TV, salah tangkap padahal yang ditangkap sudah dipaksa dan diinterogasi, diintimidasi apakah ini bukan pelanggaran HAM? Apakah atas nama tugas dari negara mereka terlepas dari hukum? Sebagai negara yang berdasarkan hukum semua warga negara tidak ada yang kebal hukum sekalipun Presiden. Tirulah zaman-zaman Ke nabian Muhammad saw, kekhalifahan, semua kembali kepada hukum. Di zaman Nabi Muhammad saw, beliau mengatakan seandainya Fatimah anakku mencuri maka aku akan potong tangannya. Di zaman Khalifah Ali, beliau rela menerima hasil keputusan Hakim yang memenangkan pencuri baju besinya karena saksi dari pihak Khalifah Ali tidak bisa diterima karena masih saudara dekat (anaknya sendiri). Mana pengadilan yang seperti ini di Indonesia yang diproklamasikan sejak 1945 ini? Dan mana pemimpin yang bisa seperti mereka?
Coba kita perhatikan PAPUA, Bumi yang kaya tapi miskin, negeri yang damai tapi mematikan. Bumi yang dihuni manusia-manusia tanpa teknologi perang canggih, tapi di sanalah polisi yang terlatih dan dilengkapi senjata menjadi bulan-bulanan pembunuhan.
Dalam satu bulan terakhir, setidaknya tiga polisi tewas dibunuh di Papua. Pembunuhan pertama terjadi 7 November terhadap AK Dominggus Awes, Kapolsek Mulia, Kabupaten Puncak Jaya. Dia ditembak mati oleh penyerang yang merampas senjatanya. Pembunuhan kedua terjadi 3 Desember di distrik yang sama. Dua anggota Brimob Bripda Feerly dan Bripda Eko tewas dihajar anak panah para penyerang dari perbukitan. Polisi sampai hari ini belum bisa menangkap para pelaku dua pembunuhan tersebut. Situasi Papua akhir-akhir ini memang dilematis. Dibilang aman, tidak! Dibilang perang, pun tidak! Situasi mendua beginilah yang membuat kepincangan persepsi.
Pemerintah meningkatkan jumlah personel polisi dan tentara ke Papua. Karena Papua dipersepsikan aman dan damai, pengerahan itu dikecam sebagai langkah represif. Pembunuhan terhadap dua anggota Brimob justru terjadi di tengah pengerahan pasukan ke Papua.
Trauma militerisme selama tiga dasawarsa era Orde Baru rupanya begitu mencekam sehingga publik kini belum juga rela berpihak kepada polisi yang selama Orde Baru adalah bagian dari tentara. Dengan demikian, kekerasan dan pembunuhan terhadap polisi dianggap wajar, sementara kekerasan terhadap warga dengan gampang dianggap pelanggaran HAM.
Organisasi-organisasi kemasyarakatan berteriak lantang ketika seseorang, entah di Papua atau di mana pun, meninggal di tangan polisi. Tetapi, ketika nyawa polisi berjatuhan di Papua, tidak ada suara yang membela. Seakan-akan pembunuhan polisi adalah wajar oleh siapa saja, di mana saja, dan dengan alasan apa saja. Dari perspektif fungsi keamanan yang diemban, polisi harus menjadi kepentingan publik karena fungsi keamanan yang dibebankan kepadanya adalah sebagian dari hak asasi manusia. Dengan demikian, membela polisi adalah juga menjadi kewajiban publik. Hak asasi adalah milik setiap warga negara, termasuk polisi.
Pemerintah harus menegaskan dengan konsekuen situasi di Papua. Jika Papua daerah damai, tidak ada alasan untuk tidak menegakkan hukum di sana. Kekerasan dilawan kekerasan hanya terjadi di wilayah perang. Terlepas dari citra dan perilaku polisi yang belum memuaskan kita semua, polisi sama seperti hakim harus dihormati. Publik harus membayangkan betapa mengerikan sebuah negara tanpa polisi. Karena itu, siapa pun yang membunuh polisi harus dihukum berat.
Menjadi polisi sulit dan mahal. Alangkah naifnya ketika kita membiarkan dan menganggap lumrah nyawa polisi menjadi bulan-bulanan di Papua. Bagi polisi perlu diingatkan, dalam situasi apa pun kesiagaan mutlak. Itulah tuntutan profesionalisme.
10 Negara tanpa Kekuatan Militer
Seperti dikatakan oleh negarawan terkenal George Perancis Clemenceau , “adalah Terlalu serius masalah Perang yang akan dipercayakan kepada militer , ” dan bahkan hari ini, pernyataannya masih berdiri benar. Sementara sebagian besar negara memiliki kekuatan militer yang besar yang mampu menyebarkan dan melindungi pada waktu tertentu ( yang terbesar dan paling terkemuka yang Cina , sekitar 1.600.000 personil militer ) , beberapa negara tidak memiliki militer sama sekali.
Di bawah ini adalah daftar sepuluh negara yang tidak mengatur kekuatan militer antara lain :
1. Kepulauan Solomon
2. Kosta Rika
3. Samoa
4. Palau
5. Andorra
6. Grenada
7. Kepulauan Marshall
8. Liechtenstein
9. Nauru
10. Kota Vatikan
di dapat dari berbagai Sumber