SISTEM HUKUM INDONESIA
Manusia adalah makhluk sosial artinya manusia tidak dapat hidup sendiri. Dengan kata lain manusia hidup memerlukan bantuan orang lain.
Adapun manusia selalu memerlukan bantuan orang lain atau selalu hidup bermasyarakat adalah :
1. untuk memenuhi kebutuhan makan dan minum.
2. untuk membela diri.
3. untuk memperoleh keturunan.
Singkatnya, manusia memerlukan orang lain untuk mempertahankan kehidupannya. Tidaklah mungkin ada orang yang dapat hidup sendirian tanpa interaksi dengan orang lain.
Dalam berinteraksi dengan orang lain pasti terdapat konflik kepentingan antara orang yang satu dengan yang lainnya. Karena tiap orang mempunyai keinginan, keperluan dan kebutuhan sendiri-sendiri. Sehingga akan terjadilah perselisihan dalam kehidupan bersama apabila terdapat konflik kepentingan. Golongan yang kuat mengalahkan dan menindas golongan yang lemah.
Oleh karena itulah, agar adanya suatu kedamaian atau untuk mencegah perpecahan dalam kehidupan bermasyarakat diperlukan suatu peraturan-peraturan atau kaedah-kaedah yang disebut hukum[1].
Oleh karena itulah, agar adanya suatu kedamaian atau untuk mencegah perpecahan dalam kehidupan bermasyarakat diperlukan suatu peraturan-peraturan atau kaedah-kaedah yang disebut hukum[1].
1. Periode Kolonialisme
Periode kolonialisme terbagi ke dalam tiga tahapan besar, yakni: periode VOC, Liberal Belanda dan Politik etis hingga penjajahan Jepang.
a. Periode VOC
Pada masa pendudukan VOC, sistem hukum[2] yang diterapkan bertujuan untuk:
1) Kepentingan ekspolitasi ekonomi demi mengatasi krisis ekonomi di negeri Belanda;
2) Pendisiplinan rakyat pribumi dengan cara yang otoriter; dan
3) Perlindungan terhadap pegawai VOC, sanak-kerabatnya, dan para pendatang Eropa.
Hukum Belanda diberlakukan terhadap orang-orang Belanda atau Eropa. Sedangkan bagi pribumi, yang berlaku adalah hukum-hukum yang dibentuk oleh tiap-tiap komunitas secara mandiri. Tata pemerintahan dan politik pada zaman itu telah meminggirkan hak-hak dasar rakyat di nusantara dan menjadikan penderitaan yang mendalam terhadap rakyat pribumi di masa itu.
b. Periode liberal Belanda
Pada 1854 di Hindia Belanda diterbitkan Regeringsreglement (selanjutnya disebut RR 1854) atau Peraturan tentang Tata Pemerintahan (di Hindia Belanda) yang tujuan utamanya melindungi kepentingan kepentingan usaha-usaha swasta di negeri jajahan dan untuk pertama kalinya mengatur perlindungan hukum terhadap kaum pribumi dari kesewenang-wenangan pemerintahan jajahan. Hal ini dapat ditemukan dalam (Regeringsreglement) RR 1854 yang mengatur tentang pembatasan terhadap eksekutif (terutama Residen) dan kepolisian, dan jaminan terhadap proses peradilan yang bebas.
Otokratisme administrasi kolonial masih tetap berlangsung pada periode ini, walaupun tidak lagi sebengis sebelumnya. Namun, pembaruan hukum yang dilandasi oleh politik liberalisasi ekonomi ini ternyata tidak meningkatkan kesejahteraan pribumi, karena eksploitasi masih terus terjadi, hanya subyek eksploitasinya saja yang berganti, dari eksploitasi oleh negara menjadi eksploitasi oleh modal swasta.
c. Periode Politik Etis Sampai Kolonialisme Jepang
Kebijakan Politik Etis dikeluarkan pada awal abad 20. Di antara kebijakan-kebijakan awal politik etis yang berkaitan langsung dengan pembaharuan hukum adalah: 1) Pendidikan untuk anak-anak pribumi, termasuk pendidikan lanjutan hukum; 2) Pembentukan Volksraad, lembaga perwakilan untuk kaum pribumi; 3) Penataan organisasi pemerintahan, khususnya dari segi efisiensi; 4) Penataan lembaga peradilan, khususnya dalam hal profesionalitas; 5) Pembentukan peraturan perundang-undangan yang berorientasi pada kepastian hukum. Hingga runtuhnya kekuasaan kolonial, pembaruan hukum di Hindia Belanda mewariskan: 1) Dualisme/pluralisme hukum privat serta dualisme/pluralisme lembaga-lembaga peradilan; 2) Penggolongan rakyat ke dalam tiga golongan; Eropa dan yang disamakan, Timur Asing, Tionghoa dan Non-Tionghoa, dan Pribumi.
Masa pendudukan Jepang pembaharuan hukum tidak banyak terjadi seluruh peraturan perundang-undangan yang tidak bertentangan dengan peraturan militer Jepang, tetap berlaku sembari menghilangkan hak-hak istimewa orang-orang Belanda dan Eropa lainnya. Beberapa perubahan perundang-undangan yang terjadi: 1) Kitab UU Hukum Perdata, yang semula hanya berlaku untuk golongan Eropa dan yang setara, diberlakukan juga untuk orang-orang Cina; 2) Beberapa peraturan militer disisipkan dalam peraturan perundang-undangan pidana yang berlaku. Di bidang peradilan, pembaharuan yang dilakukan adalah: 1) Penghapusan dualisme/pluralisme tata peradilan; 2) Unifikasi kejaksaan; 3) Penghapusan pembedaan polisi kota dan pedesaan/lapangan; 4) Pembentukan lembaga pendidikan hukum; 5) Pengisian secara massif jabatan-jabatan administrasi pemerintahan dan hukum dengan orang-orang pribumi.
2. Periode Revolusi[3] Fisik Sampai Demokrasi Liberal
a. Periode Revolusi Fisik
Pembaruan hukum yang sangat berpengaruh di masa awal ini adalah pembaruan di dalam bidang peradilan, yang bertujuan dekolonisasi dan nasionalisasi: 1) Meneruskan unfikasi badan-badan peradilan dengan melakukan penyederhanaan; 2) Mengurangi dan membatasi peran badan-badan pengadilan adat dan swapraja, kecuali badan-badan pengadilan agama yang bahkan dikuatkan dengan pendirian Mahkamah Islam Tinggi.
b. Periode Demokrasi Liberal
UUDS 1950 yang telah mengakui hak asasi manusia[4]. Namun pada masa ini pembaharuan hukum dan tata peradilan tidak banyak terjadi, yang ada adalah dilema untuk mempertahankan hukum dan peradilan adat atau mengkodifikasi dan mengunifikasinya menjadi hukum nasional yang peka terhadap perkembangan ekonomi dan tata hubungan internasional. Kemudian yang berjalan hanyalah unifikasi peradilan dengan menghapuskan seluruh badan-badan dan mekanisme pengadilan atau penyelesaian sengketa di luar pengadilan negara, yang ditetapkan melalui UU No. 9/1950 tentang Mahkamah Agung dan UU Darurat No. 1/1951 tentang Susunan dan Kekuasaan Pengadilan.
3. Periode Demokrasi Terpimpin Sampai Orde Baru
a. Periode Demokrasi Terpimpin
Langkah-langkah pemerintahan Demokrasi Terpimpin yang dianggap sangat berpengaruh dalam dinamika hukum dan peradilan adalah: 1) Menghapuskan doktrin pemisahan kekuasaan dan mendudukan MA dan badan-badan pengadilan di bawah lembaga eksekutif; 2) Mengganti lambang hukum ; dewi keadilan; menjadi; pohon beringin; yang berarti pengayoman[5]; 3) Memberikan peluang kepada eksekutif untuk melakukan campur tangan secara langsung atas proses peradilan berdasarkan UU No.19/1964 dan UU No.13/1965; 4) Menyatakan bahwa hukum perdata pada masa kolonial tidak berlaku kecuali sebagai rujukan, sehingga hakim mesti mengembangkan putusan-putusan yang lebih situasional dan kontekstual.
b. Periode Orde Baru
Perkembangan dan dinamika hukum dan tata peradilan di bawah Orde Baru justru diawali oleh penyingkiran hukum dalam proses politik dan pemerintahan. Di bidang perundang-undangan, rezim Orde Baru; membekukan; pelaksanaan UU Pokok Agraria, dan pada saat yang sama membentuk beberapa undang-undang yang memudahkan modal asing berinvestasi di Indonesia; di antaranya adalah UU Penanaman Modal Asing, UU Kehutanan, dan UU Pertambangan. Selain itu, orde baru juga melakukan: 1) Penundukan lembaga-lembaga hukum di bawah eksekutif; 2) Pengendalian sistem pendidikan dan penghancuran pemikiran kritis, termasuk dalam pemikiran hukum; Singkatnya, pada masa orde baru tak ada perkembangan yang baik dalam hukum Nasional.
4. Periode Pasca Orde Baru (1998 – Sekarang)
Sejak pucuk eksekutif di pegang Presiden Habibie hingga sekarang, sudah terjadi empat kali amandemen UUD RI. Di arah perundang-undangan dan kelembagaan negara, beberapa pembaruan formal yang mengemuka adalah: 1) Pembaruan sistem politik dan ketetanegaraan; 2) Pembaruan sistem hukum[6] dan hak asasi manusia; dan 3) Pembaruan sistem ekonomi.
Penyakit lama orde baru, yaitu KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) masih kokoh mengakar pada masa pasca orde baru, bahkan kian luas jangkauannya. Selain itu, kemampuan perangkat hukum pun dinilai belum memadai untuk dapat menjerat para pelaku semacam itu. Aparat penegak hukum seperti polisi, jaksa, dan hakim (kini ditambah advokat) dilihat masih belum mampu mengartikulasikan tuntutan permbaruan hukum, hal ini dapat dilihat dari ketidakmampuan Kejaksaan Agung meneruskan proses peradilan mantan Presiden Soeharto, peradilan pelanggaran HAM[7], serta peradilan para konglomerat hitam. Sisi baiknya, pemberdayaan rakyat untuk menuntut hak-haknya dan mengembangkan sumber daya hukumnya secara mandiri, semakin gencar dan luas dilaksanakan. Walaupun begitu, pembaruan hukum tetap terasa lambat dan masih tak tentu arahnya.
BAB I
PENGERTIAN HUKUM INDONESIA
1. Pengertian
Hukum di Indonesia[8] merupakan campuran dari sistem hukum hukum Eropa, hukum Agama dan hukum Adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata maupun pidana, berbasis pada hukum Eropa kontinental, khususnya dari Belanda karena aspek sejarah masa lalu Indonesia yang merupakan wilayah jajahan dengan sebutan Hindia Belanda (Nederlandsch-Indie). Hukum Agama, karena sebagian besar masyarakat Indonesia menganut Islam, maka dominasi hukum atau Syari'at Islam lebih banyak terutama di bidang perkawinan, kekeluargaan dan warisan. Selain itu, di Indonesia juga berlaku sistem Hukum Adat yang diserap dalam perundang-undangan atau yurisprudensi,[9] yang merupakan penerusan dari aturan-aturan setempat dari masyarakat dan budaya-budaya yang ada di wilayah Nusantara.
2. Hukum Perdata Indonesia
Hukum adalah sekumpulan peraturan yang berisi perintah dan larangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang sehingga dapat dipaksakan pemberlakuannya berfungsi untuk mengatur masyarakat demi terciptanya ketertiban disertai dengan sanksi bagi pelanggarnya
Salah satu bidang hukum yang mengatur hak dan kewajiban yang dimiliki pada subyek hukum dan hubungan antara subyek hukum. Hukum perdata disebut pula hukum privat atau hukum sipil sebagai lawan dari hukum publik. Jika hukum publik mengatur hal-hal yang berkaitan dengan negara serta kepentingan umum (misalnya politik dan pemilu (hukum tata negara), kegiatan pemerintahan sehari-hari (hukum administrasi atau tata usaha negara), kejahatan (hukum pidana), maka hukum perdata mengatur hubungan antara penduduk atau warga negara sehari-hari, seperti misalnya kedewasaan seseorang, perkawinan, perceraian, kematian, pewarisan, harta benda, kegiatan usaha dan tindakan-tindakan yang bersifat perdata lainnya.
Ada beberapa sistem hukum yang berlaku di dunia dan perbedaan sistem hukum tersebut juga memengaruhi bidang hukum perdata, antara lain sistem hukum Anglo-Saxon (yaitu sistem hukum yang berlaku di Kerajaan Inggris Raya dan negara-negara persemakmuran atau negara-negara yang terpengaruh oleh Inggris, misalnya Amerika Serikat), sistem hukum Eropa kontinental, sistem hukum komunis, sistem hukum Islam dan sistem-sistem hukum lainnya. Hukum perdata di Indonesia didasarkan pada hukum perdata di Belanda, khususnya hukum perdata Belanda pada masa penjajahan.
Bahkan Kitab Undang-undang Hukum Perdata (dikenal KUHPer.) yang berlaku di Indonesia tidak lain adalah terjemahan yang kurang tepat dari Burgerlijk Wetboek (atau dikenal dengan BW)yang berlaku di kerajaan Belanda dan diberlakukan di Indonesia (dan wilayah jajahan Belanda) berdasarkan azas konkordansi. Untuk Indonesia yang saat itu masih bernama Hindia Belanda, BW diberlakukan mulai 1859. Hukum perdata Belanda sendiri disadur dari hukum perdata yang berlaku di Perancis dengan beberapa penyesuaian. Kitab undang-undang hukum perdata (disingkat KUHPer) terdiri dari empat bagian, yaitu:
· Buku I tentang Orang; mengatur tentang hukum perseorangan dan hukum keluarga, yaitu hukum yang mengatur status serta hak dan kewajiban yang dimiliki oleh subyek hukum. Antara lain ketentuan mengenai timbulnya hak keperdataan seseorang, kelahiran, kedewasaan, perkawinan, keluarga, perceraian dan hilangnya hak keperdataan. Khusus untuk bagian perkawinan, sebagian ketentuan-ketentuannya telah dinyatakan tidak berlaku dengan di undangkannya UU nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan.
· Buku II tentang Kebendaan; mengatur tentang hukum benda, yaitu hukum yang mengatur hak dan kewajiban yang dimiliki subyek hukum yang berkaitan dengan benda, antara lain hak-hak kebendaan, waris dan penjaminan. Yang dimaksud dengan benda meliputi (i) benda berwujud yang tidak bergerak (misalnya tanah, bangunan dan kapal dengan berat tertentu); (ii) benda berwujud yang bergerak, yaitu benda berwujud lainnya selain yang dianggap sebagai benda berwujud tidak bergerak; dan (iii) benda tidak berwujud (misalnya hak tagih atau piutang). Khusus untuk bagian tanah, sebagian ketentuan-ketentuannya telah dinyatakan tidak berlaku dengan di undangkannya UU nomor 5 tahun 1960 tentang agraria. Begitu pula bagian mengenai penjaminan dengan hipotik, telah dinyatakan tidak berlaku dengan di undangkannya UU tentang hak tanggungan.
· Buku III tentang Perikatan; mengatur tentang hukum perikatan (atau kadang disebut juga perjanjian (walaupun istilah ini sesunguhnya mempunyai makna yang berbeda), yaitu hukum yang mengatur tentang hak dan kewajiban antara subyek hukum di bidang perikatan, antara lain tentang jenis-jenis perikatan (yang terdiri dari perikatan yang timbul dari (ditetapkan) undang-undang dan perikatan yang timbul dari adanya perjanjian), syarat-syarat dan tata cara pembuatan suatu perjanjian. Khusus untuk bidang perdagangan, Kitab undang-undang hukum dagang (KUHD) juga dipakai sebagai acuan. Isi KUHD berkaitan erat dengan KUHPer, khususnya Buku III. Bisa dikatakan KUHD adalah bagian khusus dari KUHPer.
· Buku IV tentang Daluarsa dan Pembuktian; mengatur hak dan kewajiban subyek hukum (khususnya batas atau tenggat waktu) dalam mempergunakan hak-haknya dalam hukum perdata dan hal-hal yang berkaitan dengan pembuktian.
Sistematika yang ada pada KUHP tetap dipakai sebagai acuan oleh para ahli hukum dan masih diajarkan pada fakultas-fakultas hukum di Indonesia.
3. Hukum Pidana Indonesia
Berdasarkan isinya, hukum dapat dibagi menjadi 2, yaitu hukum privat dan hukum publik[10] (C.S.T Kansil).Hukum privat adalah hukum yg mengatur hubungan orang perorang, sedangkan hukum publik adalah hukum yg mengatur hubungan antara negara dengan warga negaranya. Hukum pidana merupakan bagian dari hukum publik. Hukum pidana terbagi menjadi dua bagian, yaitu hukum pidana materiil dan hukum pidana formil. Hukum pidana materiil mengatur tentang penentuan tindak pidana, pelaku tindak pidana, dan pidana (sanksi). Di Indonesia, pengaturan hukum pidana materiil diatur dalam kitab undang-undang hukum pidana (KUHP). Hukum pidana formil mengatur tentang pelaksanaan hukum pidana materiil. Di Indonesia, pengaturan hukum pidana formil telah disahkan dengan UU nomor 8 tahun 1981 tentang hukum acara pidana (KUHAP).
4. Hukum Tata Negara
Hukum tata negara[11] adalah hukum yang mengatur tentang negara, yaitu antara lain dasar pendirian, struktur kelembagaan, pembentukan lembaga-lembaga negara, hubungan hukum (hak dan kewajiban) antar lembaga negara, wilayah dan warga negara. Hukum tata negara mengatur mengenai negara dalam keadaan diam artinya bukan mengenai suatu keadaan nyata dari suatu negara tertentu (sistem pemerintahan, sistem pemilu, dll dari negara tertentu) tetapi lebih pada negara dalam arti luas. Hukum ini membicarakan negara dalam arti yang abstrak.
5. Hukum Tata Usaha (Administrasi) Negara
Hukum tata usaha (administrasi) negara adalah hukum yang mengatur kegiatan administrasi negara. Yaitu hukum yang mengatur tata pelaksanaan pemerintah dalam menjalankan tugasnya . hukum administarasi negara memiliki kemiripan dengan hukum tata negara.kesamaanya terletak dalam hal kebijakan pemerintah ,sedangkan dalam hal perbedaan hukum tata negara lebih mengacu kepada fungsi konstitusi/hukum dasar yang digunakan oleh suatu negara dalam hal pengaturan kebijakan pemerintah,untuk hukum administrasi negara dimana negara dalam "keadaan yang bergerak". Hukum tata usaha negara juga sering disebut HTN dalam arti sempit.
6. Hukum Acara Perdata Indonesia
Hukum acara perdata Indonesia adalah hukum yang mengatur tentang tata cara beracara (berperkara di badan peradilan) dalam lingkup hukum perdata. Dalam hukum acara perdata, dapat dilihat dalam berbagai peraturan Belanda dulu(misalnya; Het Herziene Inlandsh Reglement/HIR, RBG, RB,RO).
7. Hukum Acara Pidana Indonesia
Hukum acara pidana Indonesia adalah hukum yang mengatur tentang tata cara beracara (berperkara di badan peradilan) dalam lingkup hukum pidana. Hukum acara pidana di Indonesia diatur dalam UU nomor 8 tahun 1981.
8. Asas Dalam Hukum Acara Pidana
Asas di dalam hukum acara pidana di Indonesia adalah:
· Asas perintah tertulis, yaitu segala tindakan hukum hanya dapat dilakukan berdasarkan perintah tertulis dari pejabat yang berwenang sesuai dengan UU[12].
· Asas peradilan cepat, sederhana, biaya ringan, jujur, dan tidak memihak, yaitu serangkaian proses peradilan pidana (dari penyidikan sampai dengan putusan hakim) dilakukan cepat, ringkas, jujur, dan adil (pasal 50 KUHAP).
· Asas memperoleh bantuan hukum, yaitu setiap orang punya kesempatan, bahkan wajib memperoleh bantuan hukum guna pembelaan atas dirinya (pasal 54 KUHAP).
· Asas terbuka, yaitu pemeriksaan tindak pidana dilakukan secara terbuka untuk umum (pasal 64 KUHAP).
· Asas pembuktian, yaitu tersangka/terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian (pasal 66 KUHAP), kecuali diatur lain oleh UU.
9. Hukum Antar Tata Hukum
Hukum antar tata hukum adalah hukum yang mengatur hubungan antara dua golongan atau lebih yang tunduk pada ketentuan hukum yang berbeda.
10. Hukum Adat di Indonesia
11. Hukum Islam di Indonesia
Hukum Islam di Indonesia belum bisa ditegakkan secara menyeluruh, karena belum adanya dukungan yang penuh dari segenap lapisan masyarakat secara demokratis baik melalui pemilu atau referendum maupun amandemen terhadap UUD 1945 secara tegas dan konsisten. Aceh merupakan satu-satunya provinsi yang banyak menerapkan hukum Islam melalui Pengadilan Agama, sesuai pasal 15 ayat 2 Undang-Undang RI No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman yaitu : Peradilan Syariah Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darrussalam merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan agama sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan agama, dan merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan umum sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan umum[14].
12. Istilah Hukum
a) Advokat
Sejak berlakunya UU nomor 18 tahun 2003 tentang advokat, sebutan bagi seseorang yang berprofesi memberikan bantuan hukum secara swasta - yang semula terdiri dari berbagai sebutan, seperti advokat, pengacara, konsultan hukum, penasihat hukum - adalah advokat.
b) Advokat dan pengacara
Kedua istilah ini sebenarnya bermakna sama, walaupun ada beberapa pendapat yang menyatakan berbeda. Sebelum berlakunya UU nomor 18 tahun 2003, istilah untuk pembela keadilan plat hitam ini sangat beragam, mulai dari istilah pengacara, penasihat hukum, konsultan hukum, advokat dan lainnya. Pengacara sesuai dengan kata-kata secara harfiah dapat diartikan sebagai orang yang beracara, yang berarti individu, baik yang tergabung dalam suatu kantor secara bersama-sama atau secara individual yang menjalankan profesi sebagai penegak hukum plat hitam di pengadilan. Sementara advokat dapat bergerak dalam pengadilan, maupun bertindak sebagai konsultan dalam masalah hukum, baik pidana maupun perdata. Sejak diundangkannya UU nomor 18 tahun 2003, maka istilah-istilah tersebut distandarisasi menjadi advokat saja.
Dahulu yang membedakan keduanya yaitu Advokat adalah seseorang yang memegang izin ber"acara" di Pengadilan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehakiman serta mempunyai wilayah untuk "beracara" di seluruh wilayah Republik Indonesia sedangkan Pengacara Praktek adalah seseorang yang memegang izin praktik / beracara berdasarkan Surat Keputusan Pengadilan Tinggi setempat dimana wilayah beracaranya adalah "hanya" diwilayah Pengadilan Tinggi yang mengeluarkan izin praktik tersebut. Setelah UU No. 18 th 2003 berlaku maka yang berwenang untuk mengangkat seseorang menjadi Advokat adalah Organisasi Advokat.(Pengacara dan Pengacara Praktek/pokrol dst seteah UU No. 18 tahun 2003 dihapus)
c. Konsultan hukum
Konsultan hukum atau dalam bahasa Inggris counselor at law atau legal consultant adalah orang yang berprofesi memberikan pelayanan jasa hukum dalam bentuk konsultasi, dalam sistem hukum yang berlaku di negara masing-masing. Untuk di Indonesia, sejak UU nomor 18 tahun 2003 berlaku, semua istilah mengenai konsultan hukum, pengacara, penasihat hukum dan lainnya yang berada dalam ruang lingkup pemberian jasa hukum telah distandarisasi menjadi advokat.
d. Jaksa dan polisi
Dua institusi publik yang berperan aktif dalam menegakkan hukum publik di Indonesia adalah kejaksaan dan kepolisian. Kepolisian atau polisi berperan untuk menerima, menyelidiki, menyidik suatu tindak pidana yang terjadi dalam ruang lingkup wilayahnya. Apabila ditemukan unsur-unsur tindak pidana[15], baik khusus maupun umum, atau tertentu, maka pelaku (tersangka) akan diminta keterangan, dan apabila perlu akan ditahan. Dalam masa penahanan, tersangka akan diminta keterangannya mengenai tindak pidana yang diduga terjadi. Selain tersangka, maka polisi juga memeriksa saksi-saksi dan alat bukti yang berhubungan erat dengan tindak pidana yang disangkakan. Keterangan tersebut terhimpun dalam berita acara pemeriksaan (BAP) yang apabila dinyatakan P21 atau lengkap, akan dikirimkan ke kejaksaan untuk dipersiapkan masa persidangannya di pengadilan. Kejaksaan akan menjalankan fungsi pengecekan BAP dan analisa bukti-bukti serta saksi untuk diajukan ke pengadilan. Apabila kejaksaan berpendapat bahwa bukti atau saksi kurang mendukung, maka kejaksaan akan mengembalikan berkas tersebut ke kepolisian, untuk dilengkapi. Setelah lengkap, maka kejaksaan akan melakukan proses penuntutan perkara. Pada tahap ini, pelaku (tersangka) telah berubah statusnya menjadi terdakwa, yang akan disidang dalam pengadilan. Apabila telah dijatuhkan putusan, maka status terdakwa berubah menjadi terpidana.
13. Unsur Unsur dan Ciri Ciri Hukum
Para ahli hukum di Indonesia berkesimpulan bahwa Hukum itu memiliki unsur-unsur dan ciri-ciri hukum[16].
Unsur-unsur hukum meliputi :
1. Peraturan mengenai tingkah laku manusia dalam bermasyarakat
2. Peraturan tersebut dibuat oleh badan yang berwenang
3. Peraturan itu secara umum bersifat memaksa
4. Sanksi dapat dikenakan bila melanggarnya sesuai dengan ketentuan atau perundang-undangan yang berlaku.
Maksud dari uraian unsur-unsur hukum di atas adalah bahwa hukum itu berisikan peraturan dalam kehidupan bermasyarakat, hukum itu diadakan oleh badan yang berwenang yakni badan legislatif dengan persetujuan badan eksekutif begitu pula sebaliknya, secara umum hukum itu bersifat memaksa yakni hukum itu tegas bila dilanggar dapat dikenakan sanksi ataupun hukumna sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Sedangkan Ciri-ciri hukum antara lain :
1. terdapat perintah ataupun larangan dan
2. perintah atau larangan tersebut harus dipatuhi oleh setiap orang
Tiap-tiap orang[17] harus bertindak demikian untuk menjaga ketertiban dalam bermasyarakat. Oleh karena itu, hukum meliputi berbagai peraturan yang menentukan dan mengatur hubungan antara orang yang satu dengan orang yang lain yang dapat disebut juga kaedah hukum yakni peraturan-peraturan kemasyarakatan.
BAB II
HAKEKAT DAN KARAKTERISTIK SISTEM HUKUM DI INDONESIA
HAKEKAT DAN KARAKTERISTIK SISTEM HUKUM DI INDONESIA
Hukum Indonesia adalah keseluruhan kaidah dan asas berdasarkan keadilan yang mengatur hubungan manusia dalam masyarakat yang berlaku sekarang di Indonesia[18].
Subyek Hukum Indonesia adalah warga negara Indonesia dan warga negara asing yang berdomisili di Indonesia.
Objek Hukum Indonesia adalah semua benda bergerak atau tidak bergerak, benda berwujud atau tidak berwujud yang terletak di wilayah hukum Indonesia.
Hukum Indonesia berfungsi mengintegrasikan kepentingan-kepentingan anggota[19] masyarakat sehingga tercipta ketertiban dan keteraturan.
1. Mazhab-Mazhab (Aliran) dalam Hukum
Beberapa aliran hukum yang telah berkembang sesuai dengan jamannya dan memberi pengaruh serta mewarnai sistem hukum di dunia adalah:
Aliran legisme (sistem hukum kontinental) merupakan suatu mazhab[20] yang menganggap undang-undang sebagai satu-satunya sumber hukum. Diasumsikan bahwa hukum identik dengan undang-undang, sehingga tidak ada hukum yang lain di luar itu. Sebagai konsekuensi dari aliran ini, hakim bersifat pasif dan hanya berkewajiban untuk menerapkan undang-undang saja.
Aliran freie rechtlehre berpendapat bahwa undang-undang tidak cukup mampu mengikuti perkembangan masyarakat, sehingga hakim diberi kebebasan untuk menciptakan hukum sendiri sesuai dengan keyakinannya (judge made law), bebas untuk melakukan interpretasi bahkan hakim bebas untuk menyimpangi undang-undang.
Aliran rechtsvinding, pada aliran ini hakim tetap terikat pada undang-undang tetapi tidak seketat seperti aliran legisme. Hakim bertugas untuk menemukan hukum, dan diberi kebebasan untuk menyelaraskan undang-undang dengan perkembangan jaman. Pada aliran ini yurisprudensi mempunyai kedudukan yang penting sebagai sumber hukum formil setelah undang-undang.
Aliran rechtsvinding ini sedikit banyak mempengaruhi sistem hukum di Indonesia
2. Karakteristik Hukum di Indonesia (Positif dan Progresif)
Salah satu hal yang spesifik dari hukum Indonesia sehingga membedakannya dari hukum negara lain adalah tekad untuk tidak melanjutkan hukum warisan pemerintah kolonial yang pernah menjajahnya. Tekad ini direalisasikan dengan melakukan perubahan fundamental pada hukum "warisan" kolonial[21].
Perubahan yang sudah dilakukan meliputi:
1. melakukan unifikasi terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
2. menghapus sistem pembagian golongan
3. memberlakukan satu sistem peradilan umum di seluruh Indonesia dengan menghapuskan perbedaan sistem peradilan yang sempat ada pada masa pemerintahan kolonial.
Ciri khas yang lain dari hukum Indonesia adalah:
1. diberlakukannya keanekaragaman (pluralistis) hukum perdata
2. berlakunya hukum tidak tertulis di samping hukum tertulis
3. membentuk hukum nasional yang mampu mengikuti perkembangan masyarakat dan tetap mewadahi keanekaragaman hukum adat.
3. Pluralisme Hukum di Indonesia
Dalam hukum positif Indonesia berlaku bermacam-macam hukum perdata, yaitu hukum perdata Eropa (KUHPerdata), hukum adat dan hukum Islam. Pluralisme hukum perdata ini disebabkan karena berdasarkan Pasal 163 IS, penduduk Hindia Belanda digolongan menjadi golongan Eropa, Bumi Putra dan Timur Asing. Dan berdasarkan Pasal 131 IS kepada masing-masing golongan diberlakukan hukum perdata yang berbeda[22].
Untuk mengatasi kevakuman hukum setelah Indonesia merdeka, berdasar pada Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, ketentuan-ketentuan tersebut di atas masih diberlakukan. Tetapi UU Nomor 62 Tahun 1958 dan Instruksi Presidium Kabinet Nomor 31/U/IN/1966, hanya mengenal pembagian penduduk menjadi warga negara Indonesia dan warga negara Asing dan menghapuskan penggolongan penduduk. Sehingga meskipun hukum perdata dalam hukum positif Indonesia masih bersifat pluralistis, tetapi tidak lagi ditujukan pada golongan penduduk tertentu, melainkan ditujukan kepada warga negara Indonesia secara umum.
BAB III
KAIDAH DASAR PEMBENTUKAN HUKUM DAN SUMBER-SUMBER HUKUM DI INDONESIA
KAIDAH DASAR PEMBENTUKAN HUKUM DAN SUMBER-SUMBER HUKUM DI INDONESIA
1. Pancasila Sebagai Pandangan Hidup Bangsa
Pandangan hidup bangsa merupakan kesatuan dari rangkaian nilai-nilai luhur, yang berfungsi sebagai kerangka acuan untuk menata kehidupan individu, interaksi antar individu, dan individu dengan alam sekitarnya dalam suatu lingkup kehidupan berbangsa. Pandangan hidup mengandung dua konsepsi dasar mengenai kehidupan bernegara yang dicita-citakan oleh bangsa Indonesia.
bersifat khusus yaitu "..melindungi segenap bangsa Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa...".
bersifat umum dengan artian dalam lingkup kehidupan sesama bangsa di dunia, yang dalam pembukaan UUD 1945 berbunyi: "…dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial…".
Bangsa Indonesia merupakan kausa materialis Pancasila atau asal dari nilai-nilai Pancasila. Nilai-nilai Pancasila pada hakikatnya merupakan kristalisasi nilai-nilai yang digali dari bangsa Indonesia sendiri. Nilai-nilai Pancasila telah ada dan tercermin dan terkandung dalam kehidupan masyarakat yang berupa adat-istiadat, kebudayaan, dan kebiasaan dalam memecahkan permasalahan mereka sehari-hari.
Susunan isi, arti, dan esensi nilai-nilai Pancasila dapat dikategorikan ke dalam tiga lingkup:
Umum-universal, yaitu sebagai pangkal tolak penjabarannya dalam bidang-bidang kenegaraan dan tertib hukum Indonesia, serta penerapannya dalam berbagai bidang kehidupan.
Umum-kolektif, yaitu sebagai pedoman kolektif negara dan bangsa Indonesia terutama dalam menegakkan tertib hukum Indonesia.
Khusus-kongkrit, dalam artian isi, arti, dan esensi Pancasila dapat dijabarkan dalam berbagai bidang kehidupan.
2. Pancasila Sebagai Dasar Negara
Pancasila[23] sebagai dasar negara amat penting dan mendasar bagi Indonesia. Pancasila merupakan landasan fundamental bagi penyelenggaraan negara. Unsur-unsur Pancasila telah dimiliki oleh bangsa Indonesia sebagai kristalisasi dari asas-asas dalam kebudayaan, nilai-nilai ketuhanan, yang kemudian diformulasikan oleh para pendiri negara sebagai dasar negara oleh Panitia Sembilan (asal mula tujuan/kausa finalis), dan selanjutnya Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengesahkan Pancasila sebagai dasar negara yang sah (asal mula karya/kausa efisien).
Kedudukan Pancasila sebagai dasar negara Indonesia membawa konsekuensi logis, yakni kekuatan imperatif atau memaksa secara hukum. Kekuatan imperatif atau memaksa artinya menuntut warga negara untuk taat dan tunduk kepada Pancasila dan aturan hukum yang dijiwainya. Pelanggaran terhadap Pancasila dan peraturan-peraturan yang dijiwainya diikuti dengan sanksi hukum sesuai dengan hukum yang berlaku.
Pembukaan UUD 1945 yang di dalamnya tercantum sila-sila dalam Pancasila tidak dapat diubah, oleh karena secara tegas tidak dijadikan sebagai salah satu objek perubahan ketentuan Pasal 37 tentang perubahan Undang-Undang Dasar. Dengan demikian, kedudukan Pancasila secara konstitusional tidak dapat diubah. Menurut ketentuan Pasal 37 ayat (1) sampai ayat (5) UUD 1945. hanya pasal-pasal Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai perubahan[24].
Dasar negara menjiwai[25] dan dijabarkan dalam bentuk perundang-undangan, dengan tujuan untuk mengatur ketertiban masyarakat dan mencapai tujuan hidup bernegara. Menurut UU No. UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Tata urutan perundang-undangan adalah sebagai berikut :
1. Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945)
2. Undang-Undang (UU)/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu)
3. Peraturan Pemerintah (PP)
4. Keputusan Presiden (Keppres)
5. Peraturan Daerah (Perda), terdiri dari :
- Perda Propinsi
- Perda Kabupaten/Kota
- Peraturan Desa/Peraturan yang setingkat
3. Kaidah Pancasila, Peran dan Fungsi Sumber Hukum
Sumber hukum adalah segala apa saja yang menimbulkan aturan-aturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat memaksa, yakni aturan-aturan yang kalau dilanggar mengakibatkan sanksi yang tegas dan nyata. Sumber-sumber hukum diklasifikasikan ke dalam dua kelompok besar, yaitu:
1. Sumber hukum materiil, yaitu sumber hukum yang menentukan isi suatu norma hukum. Sumber hukum materil dapat ditinjau dari banyak sudut pandang, misalnya sudut pandang ahli sejarah; sudut pandang ahli sosiologi; sudut pandang para filsuf; dan sebagainya.
2. Sumber hukum formil, yaitu sumber hukum ditinjau dari bentuk dan tata cara penyusunannya[26]. Yang termasuk sumber hukum formil adalah sebagai berikut : Undang-Undang (statute), Kebiasaan (custom), Keputusan-keputusan Hakim (Jurisprudensi), Traktat (treaty), dan Pendapat Sarjana Hukum (doktrin).
Dalam hukum positif Indonesia, hukum lahir dari berbagai sumber hukum formil tersebut. Dalam kesatuan integral hukum di Indonesia, menurut Pasal 2 UU No. 10 Tahun 2004, Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum.
Fungsi dan peranan Pancasila sebagai sumber hukum, antara lain, pertama, sebagai perekat kesatuan hukum nasional, dalam arti Setiap aturan hukum yang mengatur segi-segi kehidupan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila sebagai dasar filsafat, pandangan hidup dan dasar negara. Dan, kedua, sebagai cita-cita hukum nasional, bermakna bahwa seluruh peraturan yang timbul dan mengatur kehidupan masyarakat dibentuk untuk mewujudkan cita-cita berbangsa dan bernegara yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila secara utuh.
Dalam hukum positif Indonesia, hukum lahir dari berbagai sumber hukum formil. Dalam kesatuan integral hukum di Indonesia, menurut Pasal 2 UU No. 10 Tahun 2004, Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum.
Fungsi dan peranan Pancasila sebagai sumber hukum, antara lain, pertama, sebagai perekat kesatuan hukum nasional, dalam arti Setiap aturan hukum yang mengatur segi-segi kehidupan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila sebagai dasar filsafat, pandangan hidup dan dasar negara. Dan, kedua, sebagai cita-cita hukum nasional, bermakna bahwa seluruh peraturan yang timbul dan mengatur kehidupan masyarakat dibentuk untuk mewujudkan cita-cita berbangsa dan bernegara yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila secara utuh.
BAB IV
PERKEMBANGAN SISTEM HUKUM INDONESIA
PERKEMBANGAN SISTEM HUKUM INDONESIA
1. Perkembangan Hukum di Indonesia pada Masa Pendudukan Belanda dan Jepang
Sepanjang sejarah, Indonesia pernah dijajah beberapa negara antara lain Belanda, Inggris dan Jepang. Negara penjajah mempunyai kecenderungan untuk menanamkan nilai serta sistem hukumnya di wilayah jajahan, sementara masyarakat yang terjajah juga mempunyai tata nilai dan hukum sendiri[27].
Ketika Indonesia dikuasai Belanda pertama kali, yaitu oleh VOC, tidak banyak perubahan di bidang hukum. Namun ketika diambil alih oleh Pemerintah Belanda, banyak peraturan perundangan yang diberlakukan di Hindia Belanda baik itu dikodifikasi (seperti BW, WvK, WvS) maupun tidak dikodifikasi (seperti RV, HIR). Namun ternyata Belanda masih membiarkan berlakunya hukum adat dan hukum lain bagi orang[28] asing di Indonesia.
Kemudian pada tahun 1917 Pemerintah Hindia Belanda memberi kemungkinan bagi golongan non Eropa untuk tunduk pada aturan Hukum Perdata dan Hukum Dagang golongan Eropa melalui apa yang dinamakan "penundukan diri". Dengan demikian terdapat pluralisme hukum atau tidak ada unifikasi hukum saat itu, kecuali hukum pidana yaitu pada tahun 1918 dengan memberlakukan WvS (KUH Pidana) untuk semua golongan. Selain itu badan peradilan dibentuk tidak untuk semua golongan penduduk. Masing-masing golongan mempunyai badan peradilan sendiri
Pada tahun 1942 Pemerintahan Bala Tentara Jepang menguasai Indonesia. Peraturan penting yang dikeluarkan pemerintah yaitu beberapa peraturan pidana, kemudian ada Osamu Seirei Nomor 1 Tahun 1942 yang dalam salah satu pasalnya menentukan badan/lembaga pemerintah serta peraturan yang sudah ada masih dapat berlaku asalkan tidak bertentangan dengan Pemerintahan Bala Tentara Jepang. Hal ini penting untuk mencegah kekosongan hukum dalam sistem hukum di Indonesia pada masa itu.
2. Perkembangan Hukum di Indonesia pada Awal Kemerdekaan, Masa Orde Lama, Orde Baru dan Reformasi
Setelah kemerdekaan, Indonesia bertekad untuk membangun hukum nasional yang berdasarkan kepribadian bangsa melalui pembangunan hukum. Secara umum hukum Indonesia diarahkan ke bentuk hukum tertulis[29]. Pada awal kemerdekaan dalam kondisi yang belum stabil, masih belum dapat membuat peraturan untuk mengatur segala aspek kehidupan bernegara. Untuk mencegah kekosongan hukum, hukum lama masih berlaku dengan dasar Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, Pasal 192 Konstitusi RIS (pada saat berlakunya Konstitusi RIS) dan Pasal 142 UUDS 1950 (ketika berlaku UUDS 1950). Sepanjang tahun 1945-1959 Indonesia menjalankan demokrasi liberal, sehingga hukum yang ada cenderung bercorak responsif dengan ciri partisipatif, aspiratif dan limitatif.
Pada masa Orde Lama Pemerintah (Presiden) melakukan penyimpangan-penyimpangan terhadap UUD 1945. Demokrasi yang berlaku adalah Demokrasi Terpimpin yang menyebabkan kepemimpinan yang otoriter. Akibatnya hukum yang terbentuk merupakan hukum yang konservatif (ortodok) yang merupakan kebalikan dari hukum responsif, karena memang pendapat Pemimpin lah yang termuat dalam produk hukum.
Pada tahun 1966 dimulainya Orde Baru yang membawa semangat untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Namun Soeharto sebagai penguasa cenderung otoriter. Hukum yang lahir kebanyakan hukum yang kurang/tidak responsif. Hukum "hanya" sebagai pendukung pembangunan ekonomi karena pembangunan dari PELITA I - PELITA VI dititik beratkan pada sektor ekonomi.
Setelah Presiden Soeharto mundur dari jabatannya pada tahun 1998, Indonesia memasuki era reformasi yang bermaksud membangun kembali tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Pembenahan sistem hukum termasuk agenda penting reformasi. Langkah awal yang dilakukan yaitu melakukan amandemen atau perubahan terhadap UUD 1945, karena UUD merupakan hukum dasar yang menjadi acuan[30] dalam kehidupan bernegara di segala bidang. Setelah itu diadakan pembenahan dalam pembuatan peraturan perundangan, baik yang mengatur bidang baru maupun perubahan/penggantian peraturan lama untuk disesuaikan dengan tujuan reformasi.
3. Peranan Pemerintah dalam Implementasi Hukum pada Masing-masing Periode
Berbicara bagaimana peranan Pemerintah dalam implementasi hukum di Indonesia terkait dengan politik hukum yang dijalankan Pemerintah, karena politik hukum itu menentukan produk hukum yang dibuat dan implementasinya. Pada masa Penjajahan Belanda, politik hukumnya tertuang dalam Pasal 131 IS (Indische Staatsregeling) yang mengatur hukum mana yang berlaku untuk tiap-tiap golongan penduduk. Adapun mengenai penggolongan penduduk terdapat pada Pasal 163 IS. Berdasarkan politik hukum itu, di Indonesia masih terjadi pluralisme hukum.
Setelah Indonesia merdeka, untuk mencegah kekosongan hukum dipakailah Aruran peralihan seperti yang terdapat pada Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, Pasal 192 Konstitusi RIS dan Pasal 142 UUDS 1950. Hukum tidak terlalu berkembang pada masa awal kemerdekaan, akan tetapi implementasinya relatif baik yang ditandai lembaga peradilan yang mandiri. Hal ini merupakan efek dari berlakunya demokrasi liberal yang memberi kebebasan kepada warga untuk berpendapat. Sebaliknya pada masa Orde lama, peran pemimpin (Presiden) sangat dominan yang menyebabkan implementasi hukum mendapat campur tangan dari Presiden. Akibatnya lembaga peradilan menjadi tidak bebas.
Ketika Orde Baru berkuasa, politik hukum yang dijalankan Pemerintah yaitu hukum diarahkan untuk melegitimasi kekuasaan Pemerintah, sebagai sarana untuk mendukung sektor ekonomi dan sebagai sarana untuk memfasilitasi proses rekayasa sosial. Hal ini dikarenakan Pemerintah Orde Baru lebih mengutamakan bidang ekonomi dalam pembangunan. Perubahan terjadi ketika memasuki era reformasi yang menghendaki penataan kehidupan masyarakat di segala bidang. Semangat kebebasan dan keterbukaan (transparansi) menciptakan kondisi terkontrolnya langkah Pemerintah untuk mendukung agenda reformasi termasuk bidang hukum. Langkah-langkah yang diambil antara lain pembenahan peraturan perundangan, memberi keleluasaan kepada lembaga peradilan dalam menjalankan tugasnya serta memberi suasana kondusif dalam rangka mengembangkan sistem kontrol masyarakat untuk mendukung penegakan hukum.
BAB V
KOMPONEN SUBSTANSI HUKUM
KOMPONEN SUBSTANSI HUKUM
1. Sistem Hukum Adat dan Hukum Perdata
Hukum Adat merupakan hukum tidak tertulis yang dibentuk dan dipelihara oleh masyarakat hukum adat tanpa campur tangan dari penguasa, yang dilengkapi dengan sanksi sebagai upaya pemaksa. Hukum adat merupakan hukum yang bersifat lokal, dan karena dibentuk oleh masyarakat hukum adat yang tata susunannya sangat tergantung pada faktor pembentuknya, mengakibatkan hukum adat menjadi plural dan berbeda diantara tiap daerah dan tiap masyarakat[31].
Sesuai dengan faktor genealogis maka ada 3 masyarakat hukum adat, yaitu masyarakat matrilineal, patrilineal dan parental. Sedangkan berdasar pada faktor teritorial terbentuk 3 macam masyarakat, yaitu: persekutuan desa, persekutuan daerah dan perserikatan kampung.
Hukum Perdata merupakan hukum yang mengatur hubungan antar perorangan, mengatur hak dan kewajiban dalam lapangan hukum kekeluargaan dan dalam pergaulan masyarakat. Sistematika Hukum Perdata berdasarkan Undang-Undang, terdiri atas 4 buku: Buku I tentang orang, Buku II tentang Benda, Buku III tentang Perikatan, Buku IV tentang Pembuktian dan daluwarsa.
2. Sistem Hukum Acara Perdata Indonesia
Dalam rangka menegakan hukum perdata materil diperlukan hukum perdata formil (hukum acara perdata), yakni aturan hukum yang mengatur bagaimana menegakkan hukum perdata materil dengan perantaraan hakim di pengadilan sejak pemajuan gugatan sampai pada pelaksanaan putusan. Asas-asas[32] yang perlu diperhatikan dalam bercara perdata, antara lain: Hakim bersifat menunggu; Hakim bersikap pasif; Sidang terbuka untuk umum; mendengar kedua belah pihak; beracara itu dikenakan biaya, terikatnya hakim pada alat bukti; dan putusan hakim harus disertai alasan-alasan.
Beracara perdata itu melalui 3 (tiga) tahap, yaitu pendahuluan, penentuan, dan pelaksanaan.
3. Sistem Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana Indonesia.
Hukum pidana merupakan bagian dari hukum publik yang mengatur hubungan antara negara dengan warga negara. Hukum Pidana dalam pengertian sempit hanya mencakup hukum pidana materiil saja, sedangkan Hukum Pidana dalam arti luas mencakup hukum pidana materil dan hukum pidana formil atau Hukum Acara Pidana.
Hukum Pidana materIil diatur dalam KUHP, sedang Hukum Acara Pidana diatur dalam UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP dan peraturan perundang-undangan lainnya.
Hukum Acara Pidana atau hukum formil merupakan ketentuan tentang tata cara proses perkara pidana sejak adanya sangkaan seseorang telah melakukan tindak pidana hingga pelaksanaan keputusan sampai pelaksanaan putusan pengadilan, mengatur hak dan kewajiban bagi mereka yang bersangkut paut dengan proses perkara pidana berdasarkan undang-undang, serta diciptakan untuk penegakan hukum dan keadilan. Fungsi dan tujuan Hukum Acara Pidana adalah melaksanakan ketentuan-ketentuan hukum pidana untuk mencari kebenaran materil.
Hak dan kewajiban bagi pihak yang bersangkut paut dengan proses perkara pidana mengacu pada asas hukum Acara Pidana, antara lain: perlakuan di muka sidang; perintah tertulis dari yang berwenang, memperoleh bantuan hukum seluas-luasnya; hadirnya terdakwa, sidang terbuka untuk umum dll.
Selanjutnya dalam proses berita acara pidana meliputi beberapa tahap, yaitu:
1. Penyidikan oleh penyidik (penyidik polisi dan penyidik PNS)
2. Penuntutan yang dilakukan oleh jaksa atau penuntut umum
3. Pemeriksaan di depan sidang oleh hakim
4. Pelaksanaan putusan pengadilan oleh jaksa dan lembaga pemasyarakatan.
BAB VI
SUBSTANSI HUKUM POSITIF INDONESIA
SUBSTANSI HUKUM POSITIF INDONESIA
1. Sistem Hukum Tata Negara Indonesia dan Sistem Hukum Administrasi Negara
Negara merupakan pangkal tolak dari HTN dan HAN. Rakyat sebagai salah satu unsur negara secara otomatis menjadi warga negara, sedangkan penduduk adalah warga negara Indonesia[33] dan Orang asing yang bertempat tinggal secara sah di Indonesia. Di samping Rakyat unsur negara yaitu Wilayah dan Pemerintahan yang berdaulat. Wilayah negara tidak hanya daratan saja, tetapi juga perairan (laut). Pemerintah yang berdaulat tercermin dalam bentuk negara sebagai organisasi kekuasaan yang berdaulat kedalam dan keluar.
Sesuai UUD 1945[34] kekuasaan negara tersebut didistribusikan ke dalam berbagai lembaga negara secara horisontal maupun vertikal. Sifat hubungan antara lembaga negara terutama antara eksekutif dan legislatif akan menentukan corak sistem pemerintahannya.
HTN dan HAN mempunyai hubungan erat. HAN meliputi semua aturan hukum yang bersifat teknis (negara dalam keadaan bergerak), sedang HTN meliputi semua aturan hukum yang bersifat fundamental (negara dalam keadaan diam/tidak bergerak).
Alat Administrasi Negara dalam menjalankan fungsinya untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat berwenang untuk melakukan perbuatan hukum dengan pihak masyarakat, baik di lapangan hukum privat maupun lapangan hukum publik. Di samping itu alat administrasi negara diperbolehkan melakukan kebebasan bertindak (freis ermessen). Akan tetapi agar dalam menjalankan fungsinya tidak sewenang-wenang.
2. Sistem Hukum Internasional
Hukum Internasional sebagai hukum yang mengatur pergaulan negara-negara berdaulat memiliki subyek hukum yang antara lain terdiri dari: negara, organisasi internasional, Palang Merah Internasional, tahta suci, manusia, dan perusahaan transnasional.
Hukum internasional mencakup hukum perang dan damai, yang mengatur bagaimana hubungan antara negara-negara yang sedang berperang maupun sedang menjalin perdamaian. Dalam pergaulan internasional, diantara negara-negara tersebut terjalin hubungan diplomatik. Sehingga diantara mereka terjadi saling penempatan wakil diplomatik seperti duta, konsul ataupun atase.
BAB VII
SUSUNAN DAN KEKUASAAN BADAN-BADAN PERADILAN
SUSUNAN DAN KEKUASAAN BADAN-BADAN PERADILAN
DI INDONESIA
1. Macam-macam Badan Peradilan di Indonesia.
Badan-badan Peradilan di bawah Mahkamah Agung merupakan suatu bagian sebagai pelaku kekuasan kehakiman guna menegakkan hukum dan keadilan. Badan-badan Peradilan yang dimaksud, yakni :
a. Lingkungan Peradilan Umum terdiri dari
- Pengadilan Negeri yang merupakan peradilan tingkat pertama
- Pengadilan Tinggi merupakan peradilan tingkat banding.
Dalam lingkungan Peradilan Umum dibentuk pengadilan khusus, antara lain:
-Pengadilan Anak
-Pengadilan Niaga
-Pengadilan HAM
-Pengadilan Korupsi
-Pengadilan Hubungan Industrial
-Peradilan Syariah Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
b. Lingkungan peradilan khusus terdiri dari:
- Peradilan Agama
- Peradilan Militer
- Peradilan Tata Usaha Negara
Pembinaan teknis, organisatoris, administrasi, dan keuangan badan-badan pengadilan tersebut di atas di bawah Mahkamah Agung, kecuali Pengadilan Pajak pembinaan keuangan di bawah Departemen Keuangan.
2. Kekuasaan Badan-badan Peradilan di Indonesia
Badan Peradilan Umum (Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi) dan badan peradilan khusus (peradilan Agama, Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara) merupakan badan-badan Peradilan di bawah Mahkamah Agung sebagai bagian dari pelaku kekuasaan kehakiman dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan.
Keempat badan pengadilan tersebut masing-masing mempunyai kekuasaan/wewenang untuk mengadili, yaitu kekuasaan/kewenangan/ kompetensi Absolut maupun Relatif. Kompetensi absolut, adalah wewenang yang berhubungan dalam memeriksa jenis perkara tertentu secara mutlak tidak dapat diperiksa oleh badan peradilan lain, baik dalam lingkungan yang sama (Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung) maupun dalam lingkungan peradilan lain (pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama).
Kekuasaan relatif adalah suatu pembagian wewenang suatu pengadilan yang berkaitan dengan suatu perkara yang dapat diperiksa oleh pengadilan di tempat lain.
Kekuasaan/wewenang badan peradilan Umum adalah memeriksa dan memutus dan menyelesaikan perkara-perkara[35] pada umumnya perkara perdata dan perkara pidana. Pengadilan Negeri berwenang memeriksa, dan memutuskan perkara pada tingkat pertama, sedang Pengadilan Tinggi memeriksa dan memutus di tingkat banding. Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara tertinggi mempunyai wewenang mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat terakhir oleh semua lingkungan peradilan yan berada di bawah Mahkamah Agung.
Kekuasaan pengadilan khusus :
1) Pengadilan Anak berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara anak nakal
2) Pengadilan Niaga , memeriksa dan memutus permohonan pernyataan pailit dan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang, di pengadilan wilayah hukum Debitur dan perkara lain di bidang perniagaan yang penetapannya dilakukan dengan Undang-Undang
3) Pengadilan HAM, memeriksa dan memutus Pelanggaran HAM yang berat meliputi kejahatan genosida dan kejahatan Kemanusiaan;
4) Pengadilan Korupsi, memeriksa dan memutus tindak pidana korupsi yang penuntutannya diajukan oleh KPK
5) Pengadilan Hubungan Industrial, memeriksa dan memutus
a. perselisihan hak
b. perselisihan kepentingan
c. perselisihan pemutusan hubungan kerja
d. perselisihan antarserikat pekerja/serikat buruh satu tempat perusahaan.
6) Peradilan Syariat Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang dilakukan oleh Mahkamah Syariah sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan umum.
Kekuasan Peradilan Agama, memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: perkawinan, pewarisan, Wasiat, Hibah, Wakaf, Infak. Shadaqoh dan ekonomi syariah.
Kekuasaan badan Peradilan Militer berwenang mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang yang pada waktu melakukan tindak pidana adalah prajurit atau yang berdasarkan Undang-Undang dipersamakan dengan prajurit.
Kekuasaan Peradilan Tata Usaha Negara, memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara. Pengadilan Pajak yang merupakan pengadilan khusus dari Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, mempunyai wewenang memeriksa dan memutus sengketa pajak.
BAB VIII
KEKUASAAN KEHAKIMAN
1. Kekuasaan Kehakiman yang Bebas dan Tidak Memihak
Indonesia dikatakan sebagai negara hukum, hal ini dapat dilihat dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan bukan berdasar atas kekuasaan semata-mata. Ini menunjukkan bahwa segala tindakan harus dilandasi oleh hukum atau harus dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Negara hukum mempunyai ciri-ciri antara lain:
a. Adanya pengakuan dan perlindungan terhadap HAM
b. Peradilan yang bebas dari pengaruh kekuasaan/kekuatan lain dan tidak memihak
c. Adanya legalitas[36] dalam arti hukum.
Kekuasaan Kehakiman di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 yakni Pasal 24 ayat (1) dan (2) dan Pasal 25. Menurut UUD 1945 kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan lain seperti pemerintah maupun badan lain selain pemerintah sehubungan dengan kekuasaan kehakiman yang bebas dan merdeka,
Faktor yang menyebabkan kekuasaan kehakiman dapat bebas dan tidak memihak adalah landasan yuridis tentang Mahkamah Agung, hal ini karena Mahkamah Agung merupakan puncak dari proses peradilan yang dilakukan di Indonesia, di mana semua peradilan-peradilan yang berada di bawahnya bernaung di bawah Mahkamah Agung. Faktor kualitas dan integritas para hakim sangat penting, karena menyangkut hakim dalam mengambil suatu keputusan dan kemudian tradisi hukum dalam masyarakat yakni bahwa adanya hukum untuk dapat memenuhi tuntutan rasa keadilan bagi masyarakat.
2. Kekuasaan Mengadili
Kekuasaan mengadili adalah kekuasaan yang dimiliki oleh hakim di peradilan dalam usaha menerima, memeriksa dan memutus perkara. Berdasarkan asas bebas, jujur dan tidak memihak pada sidang pengadilan, menurut cara yang diatur dalam undang-undang.
Ada empat tiang peradilan yang kita kenal menurut UU No. 14 Tahun 1970 j.o UU Nomor 5 Tahun 2004 yakni
Peradilan Umum
Peradilan Agama
Peradilan Militer
Peradilan Tata Usaha Negara.
Pengadilan Negeri adalah suatu pengadilan yang umum atau sehari-hari, yang memeriksa dan memutus perkara perdata dan pidana sipil untuk semua golongan penduduk pada tingkat pertama.
Pengadilan Tinggi adalah pengadilan banding yang mengadili pada tingkat kedua suatu perkara perdata atau pidana yang telah diadili atau diputus pada Pengadilan Negeri.
Jika segala upaya hukum telah dilakukan dan belum mencapai hasil yang memuaskan terhadap putusan Pengadilan Negeri maupun pengadilan Tinggi, maka seseorang dapat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Mahkamah Agung merupakan badan peradilan tertinggi dan terakhir di Indonesia di dalam memutuskan suatu perkara baik perkara perdata maupun perkara pidana.
UUD 1945 menegaskan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut ketentuan Undang-Undang Dasar. Ditegaskan pula bahwa negara Indonesia adalah negara hukum.
Sejalan dengan prinsip ketatanegaraan di atas maka salah satu substansi penting perubahan UUD 1945 adalah keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara yang berfungsi menangani perkara tertentu di bidang ketatanegaraan, dalam rangka menjaga konstitusi agar dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi. Keberadaan Mahkamah Konstitusi sekaligus untuk menjaga terselenggaranya pemerintahan negara yang stabil, dan juga merupakan koreksi terhadap pengalaman kehidupan ketatanegaraan di masa lalu yang ditimbulkan oleh tafsir ganda terhadap konstitusi.
Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman, di samping Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945.
Mahkamah Konstitusi terikat pada prinsip umum penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lembaga lainnya dalam menegakkan hukum dan keadilan.
Mahkamah Konstitusi berwenang untuk:
a. menguji undang-undang terhadap UUD 1945
b. memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945
c. memutus pembubaran partai politik
d. memutus perselisihan hasil pemilihan umum
e. memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.
BAB IX
PENAFSIRAN, PENGGOLONGAN DAN KLASIFIKASI HUKUM
1. Penafsiran Hukum
Untuk terciptanya suatu kepastian hukum syarat yang paling utama yang harus dipenuhi adalah adanya hukum atau peraturan perundangan yang dengan jelas. Peraturan perundangan yang ada terkadang masih ada hal-hal yang sangat penting tetapi tidak dimuat. Hal tersebut bisa disebabkan oleh dinamika kehidupan masyarakat yang lebih cepat dibandingkan dengan saat penetapan peraturan perundangan yang bersangkutan. Keadaan seperti ini mengharuskan Badan-badan Peradilan (Hakim) untuk melakukan tindakan guna mencapai keadilan. Untuk mencapai ke arah itu tentu hakim dapat melakukan pembentukan hukum, pengisian, kekosongan hukum, melakukan konstruksi hukum atau harus menafsirkan hukum. Semua itu dilakukan hanya untuk terciptanya suatu kepastian hukum dalam masyarakat[37].
Penafsiran hukum meliputi:
a. Penafsiran Tata Bahasa[38]
b. Penafsiran Sahih (Authentic, Resmi)
c. Penafsiran Historis (sejarah hukum dan sejarah undang-undang)[39]
d. Penafsiran Sistematis
e. Penafsiran Nasional
Tidak ada komentar:
Posting Komentar