A. Pendahuluan
Bangsa Indonesia adalah bangsa besar dengan pluralitas suku, budaya, dan agama. Konon, selalu didengung-dengungkan bahwa ujung tombak perjuangan dan masa depan bangsa ini terletak pada pemuda sebagai harapan bangsa. Bukan berniat melemahkan, namun keadaan nyata menunjukkan perilaku segelintir pemuda malah membawa rasa pesimistik di antara pemuda itu sendiri. Oknum tersebut, misalnya, tergabung dalam geng motor yang selalu membawa aksi brutal, pelaku tindakan kriminal, dan lain-lain.
Di kalangan mahasiswa dikenal beragam “tipe” pemuda. Mulai akademisi, aktivis, maupun keduanya, atau bahkan bukan keduanya alias pemuda apatis. Berkaitan dengan hal tersebut, pemuda harapan bangsa selalu dikacaukan dengan beberapa hal, misalnya ditemukannya kasus-kasus perilaku seks bebas, aksi anarkis, kekerasan dalam orientasi, hingga pemahaman keagamaan yang keliru yang cenderung berimbas pada radikalisme dan fundamentalime tak bertanggung jawab.
Menyikapi hal tersebut, maka semestinya yang ditanamkan lagi dalam jiwa pemuda adalah nasionalisme yang sejatinya sudah dikenalkan dan diajarkan semenjak dini. Beberapa hal yang dapat ditanamkan adalah sebagai berikut.
1. menjunjung tinggi nilai-nilai pengorbanan para pahlawan yang telah berjuang membebaskan bangsa dari belenggu imperialisme. Sehingga muncul empati dan rasa takut direbutnya harkat dan martabat bangsa.
2. aktif dalam segala jenis kegiatan yang berkontribusi pada pengembangan dan pembangunan mental intelektual bangsa.
3. menjaga daya pikir kritis atas terbukanya informasi-informasi mengenai pemahaman keagamaan radikal dan fundamental.
4. senantiasa menyaring dan mewaspadai arus kebudayaan asing yang muncul dan semakin mudah diakses dari segala jenis media.
1. Atas Nama Agama
Salah satu yang marak muncul di kalangan mahasiswa sehingga terkikisnya rasa cinta pada bangsa sendiri adalah pemahaman (atas nama) agama. Tersebarnya pemahaman tersebut muncul dari gerakan-gerakan perkumpulan mahasiswa baik yang nampak maupun under ground. Tanpa bermaksud menuduh bahkan menganggap keliru, melainkan pemuda yang bergelut di dunia kampus semestinya lebih memiliki ketahan diri dan daya pikir yang kritis sehingga tidak mudah mencerna informasi yang didapat.
Menurut hemat saya, agama manapun mengajarkan cinta pada pemimpin dan negara sendiri. Permasalahan seperti apa sosok dan model pemimpin dan kepemimpinan itu hal yang lumrah apabil terjadi perbedaan pendapat. Akan tetapi, saat ini krisis nasionalisme muncul dalam bentuk pengharaman nasionalisme itu sendiri. Menyedihkan, saat rakyat Indonesia sendiri tidak lagi bangga menjadi bagian dari Indonesia bahkan mengecap keberadaan negaranya itu sebagai negara yang “kafir” atau stigma negatif lainnya.
Lebih parah lagi, ditemukannya kasus gerakan underground yang memiliki tujuan mendirikan negara sendiri yang berlabel agama tertentu. Hal ini bukanlah rahasia dan terkesan sudah on the ground. Pemahaman ini bahkan dituding sebagai aliran sesat walaupun masih menjamur di sekitar kita. Tak disangkal, pemikiran ini menggerus kebanggan beridentitas sebagai bangsa Indonesia dan lama-lama meresahkan apabila pemuda segala tidak menyadarkan diri.
2. Ketidakpuasan
Terlepas dari dua hal di atas, terkikisnya nasionalisme dapat pula diakibatkan ketidakpuasan pada para petinggi dan pemimpin bangsa ini. Bukan sebuah rahasia, apabila masyarakat saat ini belum menemukan sosok pemimpin ideal yang benar-benar layak dibanggakan. Hal tersebut dipicu beberapa hal, seperti minimnya keteladanan, kebijakan-kebijakan pemimpin yang dinilai menyakiti rakyat, bahkan praktik-praktik tidak berperikemanusiaan yang dilakukan para oknum petinggi dan pemimpin. Hal tersebut seolah-olah mengisyarakatkan idealisme pemuda telah mati oleh banyak faktor, terutama kekuasaan dan uang.
Melihat realitas seperti itu, para pemuda ayo bangkit dari rasa pesimistik! Nasionalisme tak seharusnya pudar dengan beragam alasan tersebut. Karena apabila para pemuda membenahi kekurangan dan mengasah kekompakkan untuk membentengi diri dari hal-hal yang negatif seperti yang telah disebutkan dan berani berkata tidak untuk meneladani oknum-oknum yang telah disebut di atas, maka akan tercipta pemuda harapan bangsa. Dengan demikian, terjadi regenerasi dari pemimpin minim teladan menjadi bangsa dengan kepemimpinan pemuda ideal.
3. Penguasa itu serakah
Penguasa yang serakah tidak hanya ada di tingkat jabatan yang tinggi melainkan juga di tingkat bawah dari struktur kekuasaan. Sudadi dalam “Tangise Si Jabang Bayi” mengkritik para pejabat tinggi negara dengan berkisah tentang bayi yang lahir di sebuah negara yang sebenarnya kaya-raya tetapi karena pemimpin yang serakah maka bayi tersebut harus menanggung hutang begitu dia lahir: “Apa maneh pemimpin-pemimpine padha duwe watak serakah lan seneng mentingake dhiri pribadi lan golongane dhewe mula laku pinthat-plinthut, korupsi, kolusi lan nepotisme tansah dipepetri lan diuri-uri. Negara iki wis salah urus …” (Apalagi para pemimpin memiliki watak serakah dan lebih suka mementingkan diri sendiri dan golongannya. Oleh karena itu plinthat-plinthut, korupsi, kolusi dan nepotisme selalu dikembangkan dan dilestarikan) (Sudadi, 2003a).
Sebaliknya, Ellissa (2004), dalam “Melik Nggendhong Lali,” tidak berkisah tentang pejabat tinggi, melainkan menceritakan Marsam yang “hanya” menduduki jabatan sebagai Ketua RW yang berani mengutip uang untuk urusan-urusan warganya seperti mengurus KTP, mencari surat keterangan dan sebagainya. Yang bisa memanipulasi data di negeri ini ternyata bukan hanya pejabat tinggi melainkan juga pejabat-pejabat di tingkat bawah. Boleh jadi bagi Ellissa para pejabat tinggi yang korup dan serakah tidak perlu lagi ditulis karena sudah banyak media lain atau orang lain yang mengupasnya. Tetapi kalau seorang pejabat rendahan korup belum banyak dibahas dalam karya fiksi Jawa. Di antara keenambelas cerita pendek hanya “Melik Nggendhong Lali” yang mengangkat topik pejabat rendahan yang korup. Hal ini menyiratkan bahwa seandainya penguasa yang korup itu memang sudah ada di tingkat terendah dari struktur kekuasaan di negara kita, berarti negara memang sudah dalam keadaan sangat berbahaya.
4. Penguasa Itu Sewenang-wenang
“Trima Lengser” karya Sudadi (2005) merupakan contoh refleksi yang dilakukan penulisnya, bahwa penguasa itu sewenang-wenang atau ingin menangnya sendiri. Pak Kirman memilih mengundurkan diri daripada harus mengubah apa yang sudah menjadi ketentuan. Yang menyakitkan Pak Kirman adalah bahwa atasannya, Sang Kepala Dinas, sendirilah yang menetapkan aturan. Ketika Pak Camat sakit hati karena anaknya tidak diterima, dia menghubungi Kepala Dinas agar anaknya bisa diterima. Kita tahu ending cerita seperti ini di negara kita: bawahan yang taat pada peraturan pun harus rela menjadi korban kolusi para pejabat. Dalam kehidupan bernegara kita, kolusi antar pejabat tinggi ini bisa sangat menyengsarakan rakyat tanpa rakyat bisa berbuat apa pun selain menjadi korban. Para pejabat seperti ini tidak peduli apakah mereka melanggar aturan yang mereka tetapkan sendiri atau tidak yang penting keinginan mereka terlaksana.
5. Penguasa Itu Tidak Peduli
Membaca keenambelas cerita pendek ini, ada kesan yang begitu kuat bahwa penguasa tidak peduli pada rakyat kecil. Ada cerita-cerita yang secara langsung “menunjuk hidung” buruknya kepemimpinan; ada pula cerita-cerita yang secara tidak langsung mengangkat topik ini. Cerita pendek “Lara” (Sumono Sandy Asmoro, 2004), menyoroti perilaku sebagian pemimpin yang membuat bangsa ini sakit karena mereka tidak peduli. Bahkan negara yang paling bertanggung jawab terhadap sembuhnya penyakit masyarakat juga tidak peduli, karena orang-orang yang menimbulkan penyakit tidak pernah dihukum berdasarkan rasa keadilan orang kecil. “Bondhet Dadi Cakil Rakyat” dan “Sepatu Boot” karya Sudadi (2004b, 2004c), “Wanita Kuru Anak Telu” karya Suharmono K.(2004), dan “Srengenge Isih Kaya Wingi” karya Te Arifal (2005), juga merupakan contoh pendapat para cerpenis Jawa bahwa penguasa itu tidak peduli. “Bondhet Dadi Cakil Rakyat” lebih menyoroti bagaimana seorang yang bermoral dan berpendidikan rendah akhirnya bisa menjadi anggota legislatif yang terhormat. Apakah ini menunjukkan bahwa ada partai politik yang sejak awal memang tidak memiliki konsep yang baik tentang kekuasaan? Dengan moral yang rendah seseorang tidak akan menjadi wakil rakyat melainkan hanya akan menjadi “cakil” rakyat. Artinya, yang penting bisa menduduki jabatan dan berkuasa. Ini satu bentuk ketidakpedulian kekuasaan terhadap rakyat. Sedangkan dalam “Sepatu Boot” kita bisa membaca bahwa untuk urusan-urusan rakyat yang penting namun hanya membutuhkan sedikit biaya, para pejabat tinggi juga tidak peduli. Rumitnya prosedur dan birokrasi membuat rakyat tidak berdaya. “Srengenge Isih Kaya Wingi” mengangkat topik yang sama: ketika kampanye berlangsung siapa pun peduli pada rakyat kecil tetapi setelah berkuasa satu partai atau seorang pejabat akan bisa dengan mudah tidak mempedulikan rakyat kecil. Dalam “Wanita Kuru Anak Telu” ada kesan yang kuat bahwa partai dan kampanye itu lebih penting daripada kehidupan sehari-hari rakyat kecil yang terpinggirkan.
6. Penguasa Itu Penuh Janji Palsu
“Caleg” karya Johanes Budi (2004) menyoroti masalah ini. Seperti halnya tokoh-tokoh politik yang selama ini banyak mengumbar janji, Ardi, tokoh utama dalam cerita pendek ini, juga demikian: “Iba senenge atiku mengko yen wis kepilih dadi anggota DPRD, aku arep merjuangake nasibe rakyat cilik …” (Betapa senangnya hatiku nanti; kalau sudah terpilih menjadi anggota DPRD, aku akan memperjuangkan nasib rakyat kecil). Johanes Budi mengakhiri cerita dengan kegagalan Ardi terpilih sebagai anggota DPRD. Hal ini bisa dibaca bahwa pengarang tidak menginginkan anggota legislatif yang selalu mengobral janji semasa kampanye. Tetapi realitas sosial-politik kita saat ini memang dipenuhi oleh orang-orang semacam ini. Mereka selalu mengobral janji untuk memperoleh suara sebanyak-banyaknya demi diri mereka sendiri dan kroni-kroninya.
7. Penguasa Itu Menghalalkan Cara
Ketua RW Marsam dalam “Melik Nggendhong Lali” karya Ellissa (2004) merupakan gambaran yang sangat jelas mengenai hal ini. Awalnya Marsam memasukkan para pengangguran sebagai karyawan pabrik tanpa mengutip uang. Tetapi karena dia memiliki kekuasaan, lama-lama dia tergoda juga untuk melakukan pungutan. Diawali dengan mengutip uang untuk mengurus KTP, kemudian uang untuk surat keterangan ini dan itu, dan akhirnya dia memanipulasi data dan mewajibkan siapa pun yang sudah bekerja untuk memberinya upeti. Marsam mencerminkan birokrat dan birokrasi yang carut-marut dalam kehidupan bernegara kita. Untuk urusan-urusan kecil yang seharusnya bisa dengan mudah dilakukan, rakyat harus rela mengorbankan banyak waktu dan uang untuk memperoleh apa yang menjadi haknya. Dengan berbagai cara, kaum birokrat seolah-oleh membuat semuanya itu “sudah sesuai dengan peraturan yang berlaku.” Dengan kata lain, semua cara dihalalkan untuk membebani rakyat.
8. Penguasa Itu Penuh Kolusi
“Trima Lengser” karya Sudadi (2005) dan “Nasibe Sang Konglomerat” karya Eko Hartono (2004) menceritakan tentang penguasa-penguasa yang kolusif. Pak Kirman menjadi korban kolusi Kepala Dinas Pendidikan dan Pak Camat yang menginginkan anaknya diterima di SMP di mana Pak Kirman menjadi kepala sekolah, sedangkan Sang Konglomerat dalam “Nasibe Sang Konglomerat” yang dalam keadaan sakratul maut menyadari segala keburukannya hanya bisa mendengarkan bagaimana semua orang, entah itu para pejabat tinggi, rekan-rekan bisnisnya dan orang-orang yang dicintainya hanya menginginkan hartanya. Para pejabat tinggi yang sudah kaya raya karena berkolusi dengannya juga tidak memiliki hati yang baik untuk sekedar mendoakannya.
Kata “kolusi” (dari collusion) memang memiliki arti negatif atau buruk, dan di di Indonesia kata ini lebih banyak dipahami sebagai kong-kalikong ilegal para pejabat untuk kepentingan mereka sendiri, bukan untuk rakyat. Oleh karena itu, Sudadi dan Eko Hartono juga memaknai kata ini sebagai sebuah persekongkolan jahat di antara orang-orang yang memiliki kekuasaan dan uang yang korbannya adalah rakyat kecil.
Bagi para penulis cerita pendek Jawa di atas, sistem kekuasaan saat ini sama sekali tidak memiliki sisi baik atau nilai positif. Kalau pengarang kita anggap sebagai key informant dari masyarakatnya, maka itulah persepsi masyarakat luas saat ini terhadap sistem kekuasaan dan para pengendali sistem kekuasaan itu. Sisi-sisi gelap sistem kekuasaan di atas menjauhkan para penguasa dari rakyat. Para penguasa sebagai patron tidak lagi memenuhi kewajibannya, yakni tidak memberikan perlindungan dan kesejahteraan kepada rakyat. Mereka melindungi dan menyejahterakan diri mereka sendiri. Dengan demikian, masyarakat Jawa (dan Indonesia pada umumnya) tidak lagi harmonis atau selaras karena ada salah satu hierarki yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Dari sudut pandang rakyat, demokratisasi yang sedang kita kembangkan saat ini salah arah. Kalau demokrasi itu memang mengutamakan mayoritas, ternyata di Indonesia hal itu tidak terjadi karena rakyat sebagai kelompok mayoritas hingga saat ini belum dipenuhi keinginan dan kebutuhannya. The winner takes all hanya berhenti pada pemenang pemilu yang memang memiliki kecenderungan untuk mengambil keuntungan sebesar-besarnya. Ungkapan ini tidak bermakna sama sekali bagi rakyat banyak, karena ternyata kekuasaan eksis demi kekuasaan itu sendiri. Sudah barang tentu hal ini merupakan perubahan yang tidak kita kehendaki.
Dalam ikatan patron-klien, legitimasi patron---seperti yang sudah diungkapkan di atas---tergantung pada seberapa besar perlindungan dan kesejahteraan yang diberikan oleh patron kepada klien. Namun demikian, saat ini masyarakat Jawa (dan Indonesia pada umumnya) merasakan bahwa apa yang diberikan oleh para pemimpin (penguasa) semakin kecil saja. Sebaliknya, mereka mengambil terlalu banyak untuk diri mereka sendiri. Seberapa banyak atau besar para penguasa mengambil keuntungan untuk diri mereka sendiri memang tidak terungkap secara jelas dalam sastra Jawa---dan sastra memang tidak harus atau tidak perlu berurusan dengan persoalan kuantitas. Hanya saja, para pengarang sastra Jawa telah menangkap apa yang hidup di tengah masyarakat dan menuliskannya dalam karya-karya mereka.
Jika penguasa tidak berfungsi sebagaimana mestinya dan tetap menuntut kesetiaan dan loyalitas rakyat, hal ini justru membahayakan legitimasi para penguasa. Boleh saja para penguasa menduduki jabatannya karena memenangkan pemilu dan secara legal-formal sah menduduki suatu jabatan tertentu. Namun demikian, di mata rakyat mereka bukan pemimpin sejati yang harus diikuti dan dihormati. Masyarakat Jawa yang patriarkal memerlukan sosok pemimpin yang bisa menjadi panutan, bisa ngayomi dan ngayemi. Namun kalau mereka korup---dalam segala macam manifestasinya---rakyat bisa bersikap apatis dan bahkan mbalela. Atau dengan kata lain, rakyat akan melawan. Kalau kondisi seperti ini tetap berlangsung, maka akan sangat membahayakan di masa depan karena hubungan antara penguasa dan rakyat akan mengalami erosi yang semakin besar. Artinya, para penguasa akan semakin jauh dari rakyat. Dan rakyat yang tidak tahan lagi bisa, dalam konteks Jawa, mengabaikan harmoni dan kerukunan.
Untuk mengembalikan harmoni dalam masyarakat Jawa, mestinya para pemimpin kembali ke fungsinya semula, yakni bahwa kedudukan atau jabatan mereka adalah untuk menjamin perlindungan dan kesejahteraan seluruh anggota masyarakat. Masyarakat harus dipenuhi hak-hak dasarnya. Kalau hal ini terjadi, legitimasi para pemimpin di mata rakyat akan sangat kuat. Rakyat akan setia dan hormat pada para pemimpin.
9. Dilema Ambisi
Dalam kehidupan kita dengan mudah kita bisa menggambarkan seorang ambisius yang klasik. Ia maju dengan segala cara, menggunakan cakarnya untuk mencapai kedudukan puncak dan tak perduli pada mereka yang tersakiti dalam usahanya mencapai keberhasilan. Ia seorang yang menyenangkan, bila itu mendukung maksudnya, dan bermasa bodoh bila ia tidak dilayani. Meskipun banyak dari apa yang ia lakukan memang menolong perusahaan, kita merasakan bahwa motifnya sama sekali ditujukan untuk melayani diri sendiri. Tujuannya mungkin posisi, uang atau kekuasaan.
Apakah itu salah? Sudah tentu. Memang salah. Tetapi bila ambisi seperti itu salah, haruskah kita berusaha menghapuskan semua ambisi? Marilah kita lihat kebalikannya.
Seorang yang lain, tanpa ambisi, ia menonton TV berjam-jam setiap malam. Ia tidak pernah mengambil inisiatif untuk mengadakan kegiatan keluarga. Anak-anaknya berlari-lari ke sana ke mari dengan liar tanpa disiplin atau arahan. Ia seorang Kristen yang pasif – pemahaman doktrinnya lurus, tapi sama sekali bermasa bodoh. Ia tak pernah mengajukan diri untuk bertanggung jawab. Dalam tugasnya ia hanya khawatir atas rasa amannya sendiri dan uang yang cukup. Apakah ini standar Kehidupan? Sudah tentu tidak!
Itulah dilemanya. Terlalu banyak ambisi membawa pada promosi diri yang sombong. Terlalu sedikit ambisi memperlihatkan kemalasan dan kelambanan. Berapa banyak sebetulnya terlalu banyak itu? Berapa banyak sebetulnya terlalu sedikit itu?
Ambisi itu sendiri tidak dapat dinilai baik atau buruk. Ia merupakan bagian dari sifat alamiah kita, seperti rasa lapar, keinginan atau kasih. Tetapi rasa lapar bisa menjadi kerakusan; keinginan bisa menjadi kecanduan; kasih bisa menjadi nafsu. Ambisi bisa juga menjadi sifat egois dan sombong. Seperti dorongan normal mana pun, ia dapat salah arah.
Orang dapat memiliki ambisi yang sehat – lebih dari itu, malah penting. Setiap orang harus menguji motif-motif hatinya di hadapan Allah, sehingga daftar tentang motif-motif yang baik dan buruk tidak akan pernah cukup. Namun sejumlah contoh mungkin dapat menolong: keinginan untuk melayani Allah, menjadi saksi, mempengaruhi masyarakat ke arah yang baik, memimpin secara rohani, memanfaatkan karunia rohani dan dipakai Allah.
B. Pemuda Harapan Bangsa
Sumpah Pemuda adalah momen penting bagi perubahan bangsa Indonesia. Generasi muda saat itu menjadi pelopor persatuan nasional dalam simbol tanah air, kebangsaan, dan bahasa persatuan melalui Sumpah Pemuda. Sejarah bangsa ini selalu diwarnai oleh pemuda sebagai komponen utama. Pemuda memiliki semangat tinggi untuk melakukan perubahan. Energi positif itu terpancar ketika mereka melihat suatu kejanggalan pada bumi pertiwi. Pola pikir dan daya analisis yang tinggi terhadap masalah bangsa membuat mereka merasa terpanggil untuk melakukan percepatan perbaikan tanah air menuju ke arah yang lebih baik. Lalu, melihat realita sosial saat ini, apa yang bisa mereka lakukan?. Persaingan global yang semakin panas ditambah pesatnya perkembangan dunia teknologi membuat ekonomi kita semakin jauh tertinggal. Tayangan televisi yang tidak mendidik justru semakin marak disiarkan. Banyak generasi muda kita yang terjerumus ke dalam lembah kebodohan hanya karena tidak mampu memilah tayangan yang pantas ditonton.
Melihat kenyataan yang terjadi saat ini, maka dibutuhkan sosok pemuda yang dapat melakukan akselerasi perbaikan bangsa. Akselerasi tersebut dapat terwujud melalui tindakan nyata dan peran yang dapat mereka berikan. Lalu, peran seperti apakah yang dapat membawa kita menuju ke gerbang kesejahteraan ?. Tidak adanya ekonom brilian yang bergerak bersama di negeri ini untuk dapat memahami, mencerna dan menemukan jalan keluar bagi krisis ekonomi merupakan salah satu penyebab kemunduran bumi pertiwi. Begitu juga dimensi-dimensi lain dimana masing-masing pribadi bergerak sendiri untuk memenuhi kebutuhan dan keuntungan pribadi. Mereka memang manusia-manusia brilian dan jenius tetapi seperti lidi yang berserakan, tidak terorganisasi menjadi kekuatan bangsa di bawah sebuah kepemimpinan yang solid. Kepemimpinan yang kuat dan baik tidaklah menjamin semua kesulitan kita selesai, tapi kepemimpinan yang kuat dan baik memastikan bahwa semua solusi strategis dan teknis yang kita rumuskan dapat bekerja secara benar dan efektif. Tapi, itu pulalah yang menjadi kunci masalah dimana semua berakar dari sana : krisis akhlak dan kepemimpinan.
Jika kita menyusuri sejarah bangsa ini, kita akan bertemu generasi 1900-an yang mempelopori kebangkitan nasional dengan terbentuknya Boedi Oetomo sebagai organisasi yang boleh dikatakan sebagai titik awal terbentuknya organisasi yang bersifat nasional. Dilanjutkan dengan perjuangan generasi 1928 yang berhasil mempelopori persatuan nasional melalui Sumpah Pemuda. Lalu, kita akan bertemu dengan generasi 1945 yang mempelopori perjuangan kemerdekaan dan generasi 1966 yang berhasil mengakhiri rezim Orde Lama. Semua angkatan itu silih berganti sampai datang angkatan 1998 yang mampu menumbangkan rezim Orde Baru. rangkaian sejarah ini membuktikan bahwa peran pemuda sangat dinantikan untuk percepatan perbaikan bangsa. Mereka bersatu dengan meluruskan akhlak dan niat untuk menuju perbaikan Indonesia. Mereka bergerak di bawah kepemimpinan yang jelas dan terarah. Mereka bersatu padu seperti seikat sapu lidi yang mampu membersihkan sampah-sampah yang berserakan.
Indonesia membutuhkan peran kita saat ini. Kita sebagai mahasiswa misalnya, menjadi profesional di bidang kita adalah salah satu cara yang paling efektif. Berkumpul bersama dengan pemuda lain yang memiliki visi searah lalu kita membentuk sebuah gerakan nonanarkis yang tersusun secara rapih. Lalu kita berusaha menuju ke sektor-sektor penting yang menjadi pusat pengambil keputusan atau sektor yang menguasai hayat hidup bangsa ini. Kita bergerak bersama dengan tujuan untuk memperbaiki bangsa ini. Kita bergerak dibawah arahan yang jelas. Karena itu kita butuh pemimpin yang mampu menjalankan fungsi pembangkit kekompakan agar pergerakan kita tidak mengalami perpecahan intern. Selain itu, kita butuh integritas akhlak dan kepribadian. Sikap-sikap ini dapat dilatih dengan cara aktif di organisasi seputar kampus atau lingkungan masyarakat. Banyak ilmu yang dapat ditimba di sana. Pendewasaan pikiran, peningkatan daya analisis, dan kemampuan untuk bekerja dalam tim dapat kita peroleh. Semakin strategis jabatan dalam organisasi maka semakin banyak hal yang dapat diperoleh untuk pengembangan diri dan wawasan.
Pemuda adalah harapan bangsa. Kelak mereka yang akan menahkodai bangsa ini. Semua tergantung dari seberapa besar pengorbanan yang akan mereka persembahkan. Kita hanya bisa berharap semoga mereka mampu memaksimalkan kinerja mereka masing-masing untuk memajukan bangsa ini.
C. Penentu Majunya Bangsa
Sebelum kita membayangkan bagaimana indahnya masa depan para pemuda, kita harus lebih dahulu merasakan susahnya menciptakan para pemuda masa depan. Gejala, situasi dan kondisi bangsa di segala bidang kehidupan bersimbiotik secara alami dengan para pemuda dan generasi berikutnya. Ini pula yang mengakibatkan terkikisnya intelektualitas, kecerdasan emosi dan spiritualitas para pemuda dalam menyikapi krisis multidimensi dewasa ini.
Pemuda adalah aset bangsa yang sangat berharga namun justru semangat kebangsaan mereka habis terkuras untuk berbagai aktivitas politik harian yang melelahkan sebagai efek dari krisis, konflik, dan bencana, sehingga tidak punya lagi energi untuk menyusun imajinasi masa depan Negara-Bangsa. Belum lagi timbulnya gap antar generasi yang cenderung menuju pada sikap permusuhan yang radikal dan konseptual antara “yang serba sama” dengan “yang serba lain”, permusuhan yang menganggap tidak ada gunanya memikirkan hubungan antar manusia, terutama antar generasi.
Berhadapan dengan pudarnya semangat kebangsaan generasi muda dan pengaburan cita-cita proggresssiv di masa depan, maka berbagai imajinasi populer yang hidup subur di dalam berbagai media yang mempunyai daya pengaruh besar terhadap masyarakat -lewat berbagai fenomena materialisme dan hedonisasi- ikut memengaruhi imajinasi-imajinasi kebangsaan lewat bersimbiosisnya budaya politik dengan budaya massa, yang menggiring ke arah berbagai pendangkalan dan banalitas makna politik dan kebangsaan. Imajinasi-imajinasi populer itu sesungguhnya tidak produktif dalam rangka membangun sebuah imajinasi masa depan yang lebih autentik, yang terlepas (selera umum) itu sendiri.
Namun di lain sisi, agaknya tidak salah jika sebagian orang mengatakan bahwa nasionalisme pemuda kita telah berubah menjadi materialisme dan hedonisme, patriotisme telah berubah menjadi apatisme. Fenomena ini dapat kita tangkap dari keengganan sebagian pemuda kita untuk memikirkan masalah kebangsaan. Kegamangan pemuda dalam menghadapi permasalahan bangsa dapat mengurangi agresivitas pembangunan bangsa.
Sebab lain yang menjadi pemicu lunturnya semangat kebangsaan pada generasi muda saat ini, karena kejenuhan para pemuda dalam memandang wacana kebangsaan yang dikumandangkan elite politik kita. Mereka melihat tidak adanya figur teladan yang mampu memberikan kontribusi nyata bagi perbaikan keadaan bangsa. Selain itu, sebab lainnya adalah tidak adanya kepercayaan dari golongan tua kepada golongan muda untuk mengadakan transfer ilmu, pengalaman dan kewenangan. Banyak kaum muda yang merasa bahwa kemampuan mereka dalam suatu bidang kurang bisa ditampilkan secara maksimal oleh karena tidak adanya kesempatan untuk menduduki posisi yang penting dalam menentukan kebijakan di negeri ini. Sebagian besar elit politik kita masih memegang paradigma lama yang kurang menghargai profesionalisme dan lebih mementingkan koneksi.
Tidak adanya solidaritas antar generasi hanya membuahkan egoisme di lingkungan generasi yang sama. Hal tersebut dapat dikatakan sebagai ancaman, bukan hanya untuk generasi mendatang tetapi juga dalam makna kebangsaan, bahkan bagi pengertian kemanusiaan itu sendiri; Kemanusiaan yang beradab. Jadi yang sebenarnya teringkari oleh retret temporal dan simbolik dewasa ini adalah justru struktur “hidup bersama” baik dalam orientasi sinkronisnya (solidaritas antar orang) maupun orientasi diakronisnya (solidaritas antar usia). Sedangkan “hidup bersama” ini, vivre ensemble -menurut Ernest Renan dan sering dikutip oleh Bung Karno, justru merupakan salah satu dasar pokok dari pembentukan Negara-Bangsa.
Adanya tirani urgensi dengan gaya dadakannya, juga membuat kriteria aksi yang simpel -fleksibilitas dan adaptasi- menjadi asas absolut dalam pengambilan keputusan. Keluwesan ini bisa saja membuahkan manfaat sesaat, terutama di latar politik, bahkan ada yang membaptiskannya sebagai “demokrasi”. Namun keluwesan ini membawa risiko yang kefatalannya baru terasa dalam jangka panjang, sesudah terlambat, dan setelah generasi mendatang terjebak dalam entropi dan immobilisme.
Berhubung pembawaan alami urgensi adalah mengabaikan pandangan perspektif dan antisipasi, gerakan dari satu adaptasi sesaat ke adaptasi sesaat lain yang terus menerus hingga membudaya, membuat setiap langkah pemecahan instan yang diambil semakin menjauhi cita-cita semula, semakin menyimpang dari tujuan kolektif awal. Sedangkan elaborasi jawaban yang relatif kekal terhadap masalah-masalah manusia, pembangunan dan lingkungan, menuntut adanya suatu pandangan berjangka temporal jauh dan diarahkan ke masa depan.
Mengingat generasi sekarang bisa belajar dari berbagai kekeliruan dan kegagalan generasi sebelumnya, sepatutnya lebih dapat terhindar dari reproduksi sejarah yang buram. Maka generasi muda seharusnya merasa terpanggil untuk melawan, berusaha keras untuk tidak terjebak dalam perangkap ganda yang berupa realisme katastropis (keingkaran) dan utopia ilusif (retret) sebagaimana disebut pada bagian awal tulisan. Dalam konteks itulah, sebuah konsolidasi gerakan kaum muda harus terus-menerus digalang dan diperkuat. Konsolidasi itu tak cukup dengan sumpah, tapi perlu kesadaran untuk menggabungkan kekuatan moral, intelektual, profesional, dan perjuangan dalam berbagai aspek kehidupan agar mampu membentuk suatu perspektif temporal baru, merintis jalan ke arah jauh ke depan. Merubah tatapan dan penalaran tentang masa depan. Pendek kata, pemudalah kandidat utama demi merehabilitasi masa depan.
Generasi muda calon pemimpin bangsa ini di kemudian hari dituntut agar mempunyai visi prospektif, pandangan atas sesuatu di masa depan bukan sebagai realitas tersembunyi yang sudah memiliki suatu eksistensi dan dapat ditemukan orang dengan menggunakan metode-metode ilmiah yang sesuai, tetapi lebih berupa hasil yang telah diprakirakan, atau diperoleh secara sengaja, sistematik, konsisten dan terarah sebelumnya. Jadi visi progressif dibangun berdasarkan postulat bahwa para pemuda terpanggil untuk membangun masa depan diri dan bangsanya agar benar-benar siap dalam menghadapi tantangan perubahan zaman yang beraneka ragam, meski tidak pasti serta serba kompleks. Sebab itu adanya keharusan untuk merenung ke depan setiap kali timbul keperluan dalam mengambil keputusan-keputusan yang signifikan. Pemuda harus kembali mengambil peran-peran monumental sehingga menjadi pijakan kokoh untuk langkah pembangunan selanjutnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar